Definisi dan Konsep Eko-city


PENGERTIAN ECO CITY

Kota yang secara ekologis dikatakan kota yang sehat. Artinya adanya keseimbangan antara pembangunan dan perkembangan kota dengan kelestarian lingkungan. Pengertian yang lebih luas ialah adanya hubungan timbal balik antara kehidupan kota dengan lingkungannya. Secara mendasar kota bisa dipandang fungsinya seperti suatu ekosistem. Ekosistem kota memiliki keterkaitan sistem yang erat dengan ekosistem alami.
Eco-city di beberapa kota diwujudkan dalam bentuk program-program yang bertujuan untuk mencapai ‘kota hijau’. Program kota hijau merupakan program yang menyatakan perlunya kualitas hidup yang lebih baik serta kehidupan yang harmonis dengan lingkungannya bagi masyarakat kota. Program-program kota hijau diantaranya tidak hanya terbatas untuk mengupayakan penghijauan saja akan tetapi lebih luas untuk mengupayakan konversi energi yang dapat diperbaharui, membangun transportasi yang berkelanjutan, memperluas proses daur ulang, memberdayakan masyarakat, mendukung usaha kecil dan kerjasama sebagai tanggung jawab sosial, memugar tempat tinggal liar, memperluas partisipasi dalam perencanaan untuk keberlanjutan, menciptakan seni dan perayaan yang bersifat komunal.

KONSEP ECO CITY

Konsep Eco City adalah konsep yang diterapkan oleh sebuah kota yang ramah lingkungan dan juga untuk menjadi kota yang berkelanjutan. Konsep ini diterapkan di negara-negara maju seperti Jerman, Amerika, Singapura, dan Inggris. Yang dimaksud kota yang berkelanjutan adalah kota yang mampu memanajemen kotanya dalam segala aspek baik lingkungan, ekonomi, Sumber Daya Alam, dan manusianya sendiri.



Konsep ini mengajarkan kita untuk kembali ke alam dan juga menghemat energi yang ada. Kita diajak untuk tidak membawa kendaraan pribadi seperti mobil dan motor, membuat Ruang Terbuka Hijau, dan juga tidak merusak lingkungan alam. Saat ini pemanasan global sudah banyak membawa dampak yang buruk bagi negara-negara di dunia. Sehingga negara-negara maju menerapkan konsep ini.



Dalam implementasinya eco-cityharus mampu mencerminkan sebagai kota yang berkelanjutan. Eco-city direncanakan seharusnya memiliki tujuan dalam penggunaan sumber daya yang seminimal mungkin serta memberikan dampak yang sekecil mungkin. Kota harus mampu mendaur-ulang sumber-sumber daya tersebut. Dalam konteks ini, eco-city memiliki prinsip yang berbeda dengan kota modern. Perbedaan tersebut terletak pada penggunaan sumber-sumber daya dan dampak yang ditimbulkannya. Pergeseran paradigma ini merupakan konsekuensi logis untuk mencapai tujuan sebagai kota eco-city. Namun hal yang tersulit untuk membentuknya adalah proses dalam menangani sumber daya tersebut, karena diperlukan upaya mendaur-ulang sumber daya tersebut.

Dengan demikian eco-city merupakan kota yang mengurangi beban dan tekanan lingkungan, meningkatkan kondisi tempat tinggal dan membantu mencapai pembangunan berkelanjutan termasuk peningkatan kota yang komprehensif. Eco-city melibatkan perencanaan dan manajemen lahan dan sumberdaya serta implementasi peningkatan lingkungan secara terukur.




Pertambahan penduduk juga menjadi faktor pendorong diterapkannya konsep ini. Dengan bertambahnya penduduk maka lahan yang ada pun semakin berkurang sehingga tidak adanya ruang terbuka hijau sehingga kota tidak menjadi berkelanjutan. Kota yang ideal seharusnya memiliki 30% ruang terbuka hijau dari luas kota seluruhnya. Untuk menerapkan konsep ini maka dibutuhkan strategi berikut.

1. Look

Langkah pertama yang harus dilakukan adalah look (melihat). Kita harus melihat kota yang berhasil menerapkan konsep eco city seperti di Singapura.

2. Copy

Langkah selanjutnya yaitu copy. Setelah kita melihat negara tersebut dan mempelajari tentang tata ruang kota di negara tersebut kemudian kita terapkan di kota kita seperti di Jakarta
3. Add (inovasi) 
Langkah yang terakhir yaitu inovasi. Kita membutuhkan inovasi dalam menerapkan konsep tersebut karena tidak semua negara sama. Contoh di Indonesia. Kita tidak dapat langsung menerapkan konsep ini karena kondisi alam, geografis, dan topografi yang berbeda dengan Singapura sehingga dibutuhkan inovasi dalam menerapkan konsep ini di Indonesia.

Saat ini ramai dibahas wacana pembentukan kota hijau (green city) di berbagai daerah urban. Kota hijau dipersepsikan memiliki sejumlah ruang hijau yang mampu menyediakan udara segar. Konsep kota hijau ini mengandalkan keberadaan ruang hijau sebagai paru-paru kota yang diyakini mampu menjadi penetralisir bagi dampak buruk produksi emisi khas perkotaan yang lekat dengan gaya hidup konsumtif dan boros penggunaan energi. 

Konsep kota hijau memang dapat menjadi solusi tepat bagi terimplementasikannya sebuah kota yang sehat, karena secara potensial dapat mengendalikan sistem ekologi (suhu, erosi, dan banjir), sistem sosial (kerukunan warga, tempat tinggal, sekolah, rumah sakit), serta sistem ekonomi (lapangan pekerjaan). Namun seiring waktu, konsep ini menghadapi tantangan dari berbagai permasalahan sosial yang sering kali disebabkan oleh tingginya angka pertumbuhan penduduk yang mengakibatkan semakin sempitnya lahan di daerah urban. Kekhawatiran utama dari laju pertumbuhan penduduk, selain menurunnya kualitas tempat hidup, akan terjadi ketidakseimbangan antara ketersediaan sumber daya alam (SDA) dengan pola konsumsi manusia. Lebih buruk lagi, lifestyle masyarakat di perkotaan kian tidak mengindahkan kelestarian alam. 


Dalam diskusi bertema "Pembangunan Kota Hijau" di Kantor WWF-Indonesia pada 9 April 2013 lalu, Prof. Hadi S. Alikodra, Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, memaparkan bahwa wilayah perkotaan merupakan microcosm permasalahan lingkungan yang terus berkembang seolah-olah tanpa batas, mengikuti irama dan dinamika  pertumbuhan penduduknya yang terus meningkat. Manusia berinteraksi dengan sistem alam, namun dengan perilakunya yang boros dan kurang menjaga lingkungan. Di lain pihak, karena keterbatasan daya serap dan daya asimilasi lingkungan, lingkungan hidup perkotaan menjadi semakin rusak dan tercemar (ecological scarcity). Hal tersebut terjadi karena kota-kota besar menjadi pusat pertumbuhan ekonomi, pusat pemerintahan, bahkan berbaur dengan pusat industri dan perdagangan. Hukum-hukum ekologi dan lingkungan termasuk tata ruang kota pun banyak dilanggar demi pembangunan dan keuntungan ekonomi semata. 


Oleh karena itu, selain aksi perbanyakan ruang hijau, dibutuhkan sebuah wawasan kesadaran yang mengarah kepada gaya hidup ramah lingkungan yang berkelanjutan. Lewat makalah singkat namun mendalamnya, Prof. Alikodra menyebutkan sejumlah kasus masalah lingkungan perkotaan yang kian hari kian pelik. Sudah saatnya dikembangkan konsep yang tak hanya mampu menciptakan lingkungan yang sehat dan nyaman, namun mampu menjadi pengamanan ekologi (ecological security) yang tepat. Hasilnya, kini muncul konsep ecocity, yang memiliki lebih banyak elemen konservasi lingkungan karena menjalankan prinsip 3R (reduce, recycle, reuse).

Menurut Prof. Alikodra, penerapan gaya hidup ramah lingkungan menuju ke perwujudan ecocity ini sudah harus segera diimplementasikan. Penulis buku “Pendekatan Ecosophy Bagi Penyelamatan Bumi” yang juga menjabat Senior Advisor WWF-Indonesia ini menyebutkan bahwa indikasinya bisa dilihat dari grafik fantastis laju pertumbuhan manusia di perkotaan. 



“Pada tahun 1950 jumlah penduduk perkotaan dunia yang berada di negara berkembang mencapai  38,92 persen. Tahun 1975 meningkat menjadi 51,07 persen, dan tahun 1990 hampir dua pertiga dari jumlah penduduk perkotaan di dunia bertempat tinggal di negara-negara yang pada umumnya adalah golongan negara miskin,” ujarnya. Inogichi pada penelitiannya di tahun 1999 menyebutkan bahwa pada tahun 2015 diproyeksikan 13 dari 15 kota besar dunia terletak di negara-negara berkembang. Kepadatan penduduk kota-kota metropolitan di Asia Tenggara seperti Jakarta, Bangkok, dan Manila semakin meningkat secara tajam. “Jika tidak mampu mengendalikannya, hal ini dapat menjadi bumerang yang menghambat pertumbuhan kota tersebut.”


Jakarta pada siang hari harus mampu melayani warganya yang berjumlah sembilan juta jiwa, jumlah warga Kota Metropolitan Bangkok pun mungkin sudah melebihi angka sembilan juta jiwa. Di pagi hari, Kota Jakarta maupun Bangkok diselimuti oleh asap tebal yang terdiri dari berbagai bahan pencemar udara. Bahan pencemar ini datang dari berbagai sumber, seperti knalpot kendaraan, sampah industri, sampah permukiman, kebakaran hutan dan lahan, ataupun dari aktivitas gunung berapi. Fenomena ini disebut Alikodra sebagai “Efek Rumah Bahang” (Urban Heat Island/UHI), sebuah kondisi dimana suhu semakin panas karena banyaknya bahan pencemar yang menyelimuti wilayah udara perkotaan sehingga semakin pengap.   

Permasalahan lingkungan di wilayah perkotaan semakin kompleks dan rumit, semakin sulit mengatasinya. Setiap musim hujan, Gubernur Jakarta dipusingkan dengan banjir yang menggenangi seluruh wilayahnya, Walikota Semarang dipusingkan dengan banjir rob, bahkan Walikota Tarakan hingga saat ini kebingungan untuk mengatasi banjir lumpur yang banyak menenggelamkan rumah-rumah warganya. Warga Kota Banjarmasin, Banjarbaru, Samarinda, Palangkaraya, Pontianak, dan Kota Balikpapan mengeluh karena kurang mencukupinya pasokan tenaga listrik. Belum lagi masalah sampah yang semakin sulit mengatasinya, dan masalah kelangkaan bahan bakar di beberapa kota di luar Jawa. 

Kota Tokyo menjadi salah satu contoh kota ramah lingkungan dan telah menuju ke arah ecocity. Hal itu terwujud karena perilaku warganya yang pro penghematan dan bahkan pengurangan emisi. Warga Tokyo mengganti alat transportasi mobil pribadi dengan sepeda, atau melakukan car pooling. Mereka menerapkan kebiasaan memilah sampah dan mendaur ulang barang bekas. Dengan luas 2.187,08 km2 dan jumlah populasi sekitar 13 juta lebih orang, Tokyo merupakan kota metropolitan terpadat di dunia. Namun dengan kesadaran ingin mengembangkan tempat hidup yang nyaman berwawasan ecocity, pemerintah, sektor swasta, dan masyarakatnya saling bahu-membahu mewujudkannya. Sebuah kerja bersama yang berbuah manis.

Sebagai penutup paparannya, Prof. Alikodra mengimbau peserta yang hadir dalam diskusi untuk menerapkan gaya hidup ramah lingkungan dan menularkan perilaku ini kepada orang lain. Implementasi ecocity atau kota berwawasan lingkungan membutuhkan proses yang panjang, sehingga untuk mencapainya diperlukan tak hanya waktu yang cukup lama. Diperlukan juga upaya jangka pendek dalam pengembangannya melalui pembangunan kota hijau, serta perubahan lifestyle seluruh warga dan semua pihak terkait untuk berjiwa konservasi (mencintai dan melindungi alam). 

ECO-CITY DAN KOTA BERKELANJUTAN

Kota berkelanjutan memiliki makna yang luas, namun sering kali pemahamannya dilihat dari segi konteks dan substansi mengarah pada keberadaan kota yang memperhatikan lingkungan. Walaupun konteks dan substansi ini berada dalam lingkup yang meletakkan lingkungan sebagai aspek yang penting, akan tetapi juga memerlukan berbagai pendekatan dengan melibatkan aspek-aspek lain yang komprehensif. Dengan kata lain, bidang-bidang yang terkait tidak hanya berhubungan dengan lingkungan saja, namun secara bersama-sama mengkaitkan pula bidang-bidang yang lain misalnya: perencanaan dan desain, teknologi, ekonomi, sosial dan budaya, serta politik.
Kota berkelanjutan mendekati visi tentang kota yang dicita-citakan, dimana ia dihadapkan pada berbagai permasalahan-permasalahan yang tidak mudah untuk menyelesaikannya. Mengenai permasalahan ekonomi dan lingkungan menjadi hal yang perlu diperhatikan, dimana dengan hal tersebut menjadi semakin lebih sulit menggambarkan kota yang memiliki arti yang luas pada kota-kota yang terpencil atau daerah-daerah pedalaman yang kurang meng-kota. Hal ini jauh berbeda dari pemikiran baru tentang kota, dimana karakteristik kota sebagai sistem yang terbuka, yaitu sistem-sistem kota menyatu dengan sistem-sistem lingkungan dan ekonomi. Eco-city, harus dibangun oleh masyarakat setempat, bukan oleh perencana tata kota atau pemerintah. Walaupun leadership, khususnya dari pemerintah masih dibutuhkan di semua lini dan tingkatan untuk mewujudkan eco-city ini.
KONSEP ECO-CITY




Sesuai dengan konsep eco-city yang melibatkan perencanaan dan manajemen lahan dan sumber daya serta implementasi peningkatan lahan secara teratur. Maka bisa dilihat dari gambar maket diatas bahwa pemakaian ruang dari sebuah eco-citybenar-benar direncanakan, lahan kosong disekitar gedung dijadikan lahan hijau. Di sudut lahan dibangun danau/penampungan air untuk fungsi dan estetika. Lahan pinggir sungai ditata sedemikian rupa tanpa kehilangan fungsi utamanya. Lahan kosong sengaja tidak dipenuhi oleh pohon agar tercipta ruang bagi pemukim untuk beraktivitas di lahan kosong tersebut.



Kota hijau atau ecocity dalam konsepnya menggabungkan prinsip pembangunan hijau (greenbuilding) dengan memanfaatkan teknologi informasi (ICT) untuk mengurangi dan menghilangkan dampak buruk terhadap lingkungan. Sederhananya, ecocity adalah sebuah kota ekologis sehat.
Ecocity adalah …
  • Sebuah pemukiman ekologis sehat dimodelkan pada struktur mandiri tangguh dan fungsi ekosistem alami dan organisme hidup.
  • Suatu entitas yang mencakup penduduknya dan dampak ekologi mereka.
  • Sebuah subsistem dari ekosistem yang merupakan bagian – dari DAS tersebut, bioregion, dan akhirnya, dari planet ini.
  • Sebuah subsistem dari sistem ekonomi regional, nasional dan dunia.
Ecocity sebagai ekosistem adalah sebuah lingkungan biologis yang terdiri dari semua organisme hidup di daerah tertentu, serta semua yang tak hidup, komponen fisik dari lingkungan (seperti udara, tanah, air, dan sinar matahari) yang berinteraksi dengan organisme. Konsep ecocity merupakan sebuah konsep yang sebenarnya sudah lama ada dalam kehidupan-hari.

Entitas urban adalah ekosistem perkotaan, dimana dalam sebuah perkotaan terdapat sebuah sistem yang mengendalikan lingkungan agar tetap terjaga keseimbangannya antara lingkungan biotik dengan abiotik. Entitas urban (kota, kota dan desa) adalah ekosistem perkotaan. Mereka juga bagian dari sistem yang lebih besar yang menyediakan layanan penting yang sering undervalued, karena banyak dari kesemua itu yang tanpa nilai pasar. Contoh yang luas meliputi: mengatur (iklim, banjir, keseimbangan gizi, penyaringan air), pengadaan (makanan, obat-obatan), budaya (ilmu pengetahuan, spiritual, upacara, rekreasi, estetika) dan mendukung (siklus nutrisi, fotosintesis, pembentukan tanah).
Ecocities sebagai analog dengan organisme hidup Seperti organisme hidup, kota-kota (termasuk penghuninya) pameran dan memerlukan sistem untuk gerakan (transportasi), respirasi (proses untuk memperoleh energi), sensitivitas (menanggapi lingkungannya), pertumbuhan (berkembang / berubah dari waktu ke waktu) , reproduksi (termasuk pendidikan dan pelatihan, konstruksi, perencanaan dan pengembangan, dll), ekskresi (output dan limbah), dan gizi (kebutuhan udara, air, tanah, makanan untuk penduduk, bahan, dll).

Pada intinya, Pembangunan Ecocity tergantung pada hubungan yang sehat dari elemen dan fungsi kota, mirip dengan hubungan organ-organ dalam organisme hidup yang kompleks. Konsep desain kota selama ini memprihatinkan karena perencanaan, pembangunan, dan operasional kota selama ini kurang mencerminkan terhadap upaya penghijauan. Dengan cara integral, yaitu menserasikan pemanfaatan sumberdaya organik dengan kebutuhan akan pembangunan hal ini akan membuat kota tampak sejuk dan yang paling penting tetap menjaga kelestarian lingkungan tanpa mengabaikan tujuan dari pembangunan. Disamping dengan pembangunan, cara untuk menghidupkan konsep ecocity pada seluruh elemen masyarakat yaitu dengan pelajaran ekologi dimana seluruh sistem benar-benar berupaya untuk membalikkan dampak negatif dari perubahan iklim, kepunahan spesies dan kehancuran biosfer.

Model ecocity berusaha untuk memberikan visi praktis untuk keberadaan manusia yang berkelanjutan dan restoratif di planet ini dan menunjukkan jalan menuju prestasi melalui pembangunan kembali kota dan desa yang seimbang dengan sistem kehidupan.
Dalam upaya membangun ecocity di dunia membentuk “Ecocity World Summit” dimana forum tersebut sudah berjalan beberapa tahun belakangan ini. berikut tempat yang  pernah menyelenggarakan forum tersebut:
  • Montreal, Canada, 2011
  • Istanbul, Turkey, 2009
  • San Francisco, Calfornia, USA, 2008
  • Bangalore, India, 2006
  • Shenzhen, China, 2002
  • Curitiba, Brazil, 2000
  • Dakar/Yoff, Senegal, 1996
  • Adelaide, Australia, 1992
  • Berkeley, California, USA, 1990
Untuk tahun 2011 “Ecocity Word Summit” diselenggarakan pada tanggal 22 – 26 Agustus 2011 di Montreal, Kanada.
Dalam Ecocity World Summit 2008 yang berlangsung di San Francisco, konsep kota ramah lingkungan (eco-city) dirumuskan sebagai solusi atas pemanasan global, urbanisasi dan semakin langkanya sumber daya yang akan terjadi berabad ke depan.
Dalam pertemuan ini, semua peserta konferensi sepakat “pada masa datang kota dan penduduknya harus hidup selaras dengan lingkungan demi menciptakan pembangunan yang berkelanjutan. Kota dan desa harus dirancang sedemikian rupa menjadi lingkungan yang sehat yang mampu menciptakan kehidupan yang berkualitas dengan menjaga ekosistem di sekitarnya.”
Kota hijau atau “eco-city” dalam konsepnya menggabungkan prinsip pembangunan “hijau” (green building) dengan memanfaatkan teknologi informasi (ICT) untuk mengurangi – dan menghilangkan – dampak-dampak buruk kota terhadap lingkungan. Dalam tulisannya yang berjudul “Sustainable Cities: Oxymoron or The Shape of the Future?,” Annissa Alusi, asisten profesor di Harvard Business School, memaparkan perkembangan kota-kota hijau generasi pertama dunia. Hasil penemuannya beragam.

Berikut adalah ringkasan kota yang sedang menlaksanakan pembangunan “ecocity concept”:

1. Kota Dongtan – Pulau Chongming, China

Pada 2005, pemerintah kota Shanghai menyerahkan pengelolaan tanah di Pulau Chongming kepada Shanghai Industrial Investment Company (SIIC), lembaga investasi milik pemerintah. Pulau Chongming terletak sekitar 14 km dari distrik keuangan Shanghai dengan luas mencapai 50 km persegi atau sekitar tiga perempat luas Kota Manhattan. Pemerintah ingin menjadikan Kota Dongtan menjadi sebuah kota hijau yang memiliki sumber energi yang terbarukan, bebas kendaraan bermotor dan dengan sumber daya air yang bisa didaur ulang.Kota ini diharapkan bisa menjadi contoh sebuah kota hijau yang ideal di dunia dan mampu menampung 500,000 penduduk pada 2050.
SIIC ingin menciptakan sebuah kota modern bernuansa ekologis menggantikan konsep kota industri tradisional.

2. Kota Sitra Low2No – Helsinski, Finlandia

Low2No adalah sebuah proyek kota hijau yang memiliki beragam fungsi seluas satu blok di Helsinki, Finlandia. Kota hijau ini masuk dalam rencana besar pembangunan kembali Jätkäsaari, sebuah kota pelabuhan industri yang disetujui pada 2006. Pemerintah Finlandia ingin menjadikan Low2No sebagai contoh ideal sebuah kota yang bebas atau rendah karbon, yang mampu “menyemai inovasi di bidang efisiensi energi dan pembangunan yang berkelanjutan.”Dengan Low2No, pemerintah ingin menerapkan sistem pembangunan berkelanjutan di Finlandia yang masuk dalam hitungan ekonomi dengan menciptakan kebijakan-kebijakan finansial baru yang mendukung usaha-usaha rendah atau bebas karbon. Finlandia menargetkan pembangunan 10 proyek baru dalam lima tahun setelah proyek Low2No rampung.

3. Kota Kota Masdar – Masdar, Abu Dhabi

Kota hijau Masdar ini adalah kota hijau yang paling terkenal dan paling mendapat banyak kritikan hingga saat ini. Kota seluas 3,5 km persegi yang terletak di sebuah gurun 30 km dari Abu Dhabi ini dirancang untuk menampung 47.000 penduduk dan 1.500 perusahaan. Nilai investasinya mencapai $22 miliar dan ditargetkan selesai pada 2016.
Menurut pemerintah Abu Dhabi, kota ini akan menjadi kota bebas karbon, bebas limbah dan bebas mobil, dengan sumber energi yang berasal dari energi yang terbarukan. Masdar juga menjadi markas dari International Renewable Energy Agency, yang memiliki mandat menyebarkan dan mengembangkan pemanfaatan energi terbarukan.
Tahun lalu (2010) saat para pelaksana proyek Masdar merevisi target awal mereka. Penyelesaian proyek ini mundur dari 2016 ke 2020. Kota ini juga masih akan membutuhkan banyak pasokan energi dari luar dan kapsul transportasi elektrik (yang menjadi bagian dari sistem transportasi personal di Masdar) tidak akan tersedia di seluruh kota. CEO ADFEC Sultan al-Jaber mengumumkan bahwa proyek Kota Masdar tidak akan dihentikan namun menurut pengamat akan ada perubahan dari rencana awalnya.

4. Kota PlanIT Valley – Paredes, Portugal

PlanIT Valley adalah contoh kota pintar (smart city) akan dibangun di wilayah Paredes, sekitar 16 km dari pusat kota Porto, Portugal, oleh perusahaan teknologi baru bernama Living PlanIT. Pada 2008, Living PlanIT memperoleh hak untuk membeli sekitar 3000 ha lahan dari pemerintah lokal sebagai lokasi PlanIT Valley. Proyek ini diharapkan selesai pada 2015, dan diharapkan bisa menampung sekitar 150,000 penduduk. PlanIT Valley didesain sebagai pusat penelitian dan pengembangan teknologi bagi Living PlanIT dan mitranya yang ingin menjadikan kota ini sebagai “laboratorium teknologi hijau” pertama di dunia.
Inisiator perusahaan, Steve Lewis dan Malcolm Hutchinson, mantan direktur perangkat lunak, memadukan sudut pandang teknologi yang unik dalam mengembangkan kota ini. Mereka menggunakan apa yang mereka sebut sebagai “Sistem Operasi Perkotaan” (Urban Operating System) yang berfungsi sebagai pusat operasi atau otak dari kota ini. SOP mengumpulkan beragam informasi dari sistem perkotaan yang mendukungnya.

5. Tianjin Eco-City – Tianjin, China

Pada 2007, tidak lama setelah mengumumkan proyek Dongtan, pemerintah China membuat rencana kota hijau baru (eco-city) hasil kerjasama pemerintah China dan Singapura. Kota bernama Tianjin Eco-City ini terletak sekitar 40 km dari pusat kota Tianjin, sekitar 150 km di sebelah tenggara Beijing. Kota ini bisa dicapai dalam waktu kurang dari 10 menit dari Tianjin Economic-Technological Development Area (TEDA). Proyek Tianjin Eco-City terus berlangsung dan diharapkan mulai dihuni pada tahun ini.

6. Meixi Lake District – Changsha, China

Changsha adalah kota yang sedang tumbuh dengan penduduk mencapai lebih dari 65 juta jiwa. Pada Februari 2009, pemerintah kota Changsha di Provinsi Hunan dan kontraktor Gale International setuju membangun sebuah kota ramah lingkungan bernama Meixi Lake District di Changsha, ibu kota dari Provinsi Hunan di China selatan-tengah.
Menurut Kohn Pedersen Fox, perancang kota ini, Meixi Lake ingin menjadi contoh sebuah kota masa depan di China. “Kota ini menggabungkan konsep kota metropolis dan kota alami yang menggunakan jaringan transportasi inovatif, sistem distribusi energi terbaru (smart grid), sistem pertanian perkotaan serta sistem daur ulang limbah energi.” Distrik seluas 600 ha ini diharapkan mampu menampung 180,000 penduduk dan diharapkan rampung pada 2020.

7. New Songdo City – Songdo Island, Korea Selatan

Rencana bagi New Songdo City, yang terletak di sebuah pulau buatan 30 km dari Seoul, Korea Selatan dimulai pada 2000. Kota seluas 600 ha ini diharapkan mampu menampung 430.000 jiwa pada 2014. New Songdo City ingin menjadi sebuah kota “Terpadu, Pintar dan Hijau (Compact, Smart and Green)”.
Kota ini ditargetkan menghasilkan gas rumahkaca (greenhouse gases) sepertiga dari kota dengan luas yang sama. Rumah dan bangunan komersial hijau kota ini akan digarap oleh GE Korea. Kota di Incheon Free Economic Zone ini ingin menarik investasi dan bisnis asing ke Korea, dan menjadikan Korea Selatan sebagai pusat perdagangan Asia.
Pada 2009, sebanyak 60,000 penduduk, 418 perusahaan dan pusat penelitian dipindahkan ke wilayah ini dan pada 2014 pembangunan tahap kedua ditargetkan rampung. Di kota ini juga akan dibangun 10 universitas asing, delapan universitas lokal, empat sekolah internasional dan 17 bioskop.
Bagaimana dengan Indonesia?
Konsep Ecocity di Indonesia sementara masih dikembangkan di Sentul City, seperti yang di kutip dari vivanews; “PT Sentul City Tbk menegaskan komitmennya mengembangkan konsep nilai ekologi (ecocity) dengan memberdayakan potensi lokal”.
“Jadi, untuk menuju ‘ecocity‘ tidak perlu teknologi tinggi dan mahal, cukup dengan potensi lokal saja,” kata Direktur Sentul City, Andrian Budi Utama melalui siaran pers perseoan kepada VIVAnews di Jakarta, Kamis 17 Juni 2010.
Andrian mencontohkan, salah satu kegiatan pengembangan berkelanjutan (sustainable development) menuju ecocity adalah penyediaan area konservasi, topografi kawasan dipertahankan, dan lainnya. Selain itu, juga menggunakan teknologi sederhana untuk mengolah air buangan untuk air baku menyirami tanaman dan pemanfaatan tanaman spesies lokal di “green map” yang segera dikembangkan di Sentul City.
Salah satu hasil studi mahasiswa Institur Pertanian Bogor (IPB) menyebutkan, dari hasil identifikasi 57 jenis pohan di kawasan Sentul, 34 spesies di antaranya merupakan tanaman lokal dan 23 spesies lainnya adalah tanaman eksotik.
Untuk itu, menurut Andrian, pihaknya juga akan mempertahankan komitmen ruang terbuka hijau (RTH) tetap di atas 50 persen dari total 3.100 hektare seluruh kawasan Sentul City.
Tidak hanya itu, lanjutnya, untuk menuju konsep ecocity tersebut juga diperlukan suatu ‘green property‘ atau properti hijau. “Salah satu elemennya adalah kami sudah mengembangkan ‘green wall dan roof‘ (dinding dan atap hijau). Kongkritnya marketing office kami di Sentul menggusung konsep ini,” katanya.
Menyingung dampak konsep ecocity yang dikembangkan Sentul City selama ini, Andrian menuturkan, pertumbuhan penjualan perseroan sejak Januari-Mei tahun ini mencapai Rp120 miliar. “Ini naik 100 persen dibanding periode yang sama tahun lalu. Target tahun ini Rp300 miliar,” katanya.

Insentif Green Property

Menyinggung rencana pemerintah yang menggodok konsep insentif bagi pengembang green property, Andrian menyambut baik rencana itu. “Sebelum terlalu jauh, sebaiknya pemerintah memperjelas apa kebutuhannya dalam rangka global warming,” katanya.
Setelah hal itu jelas, lanjutnya, kemudian perjelas dulu payung hukumnya sehingga niat insentif bagi pengembang menjadi jelas. “Insentif di sini hendaknya membawa benefit bagi keduanya, baik untuk pemerintah maupun swasta,” katanya.
Terkait dengan hal itu, dia memberikan contoh, di Jerman, regulasi insentif untuk pengembang green property sudah jelas sejak 1985 yakni berupa pengurangan pajak dan kemudahan mengurus perizinan.

MENUJU KOTA BERTARAF EKOCITY

Saat ini ramai dibahas wacana pembentukan kota hijau (green city) di berbagai daerah urban. Kota hijau dipersepsikan memiliki sejumlah ruang hijau yang mampu menyediakan udara segar. Konsep kota hijau ini mengandalkan keberadaan ruang hijau sebagai paru-paru kota yang diyakini mampu menjadi penetralisir bagi dampak buruk produksi emisi khas perkotaan yang lekat dengan gaya hidup konsumtif dan boros penggunaan energi. 

Konsep kota hijau memang dapat menjadi solusi tepat bagi terimplementasikannya sebuah kota yang sehat, karena secara potensial dapat mengendalikan sistem ekologi (suhu, erosi, dan banjir), sistem sosial (kerukunan warga, tempat tinggal, sekolah, rumah sakit), serta sistem ekonomi (lapangan pekerjaan). Namun seiring waktu, konsep ini menghadapi tantangan dari berbagai permasalahan sosial yang sering kali disebabkan oleh tingginya angka pertumbuhan penduduk yang mengakibatkan semakin sempitnya lahan di daerah urban. Kekhawatiran utama dari laju pertumbuhan penduduk, selain menurunnya kualitas tempat hidup, akan terjadi ketidakseimbangan antara ketersediaan sumber daya alam (SDA) dengan pola konsumsi manusia. Lebih buruk lagi, lifestyle masyarakat di perkotaan kian tidak mengindahkan kelestarian alam. 

Dalam diskusi bertema "Pembangunan Kota Hijau" di Kantor WWF-Indonesia pada 9 April 2013 lalu, Prof. Hadi S. Alikodra, Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, memaparkan bahwa wilayah perkotaan merupakan microcosm permasalahan lingkungan yang terus berkembang seolah-olah tanpa batas, mengikuti irama dan dinamika  pertumbuhan penduduknya yang terus meningkat. Manusia berinteraksi dengan sistem alam, namun dengan perilakunya yang boros dan kurang menjaga lingkungan. Di lain pihak, karena keterbatasan daya serap dan daya asimilasi lingkungan, lingkungan hidup perkotaan menjadi semakin rusak dan tercemar (ecological scarcity). Hal tersebut terjadi karena kota-kota besar menjadi pusat pertumbuhan ekonomi, pusat pemerintahan, bahkan berbaur dengan pusat industri dan perdagangan. Hukum-hukum ekologi dan lingkungan termasuk tata ruang kota pun banyak dilanggar demi pembangunan dan keuntungan ekonomi semata. 

Oleh karena itu, selain aksi perbanyakan ruang hijau, dibutuhkan sebuah wawasan kesadaran yang mengarah kepada gaya hidup ramah lingkungan yang berkelanjutan. Lewat makalah singkat namun mendalamnya, Prof. Alikodra menyebutkan sejumlah kasus masalah lingkungan perkotaan yang kian hari kian pelik. Sudah saatnya dikembangkan konsep yang tak hanya mampu menciptakan lingkungan yang sehat dan nyaman, namun mampu menjadi pengamanan ekologi (ecological security) yang tepat. Hasilnya, kini muncul konsep ecocity, yang memiliki lebih banyak elemen konservasi lingkungan karena menjalankan prinsip 3R (reduce, recycle, reuse).

Menurut Prof. Alikodra, penerapan gaya hidup ramah lingkungan menuju ke perwujudan ecocity ini sudah harus segera diimplementasikan. Penulis buku “Pendekatan Ecosophy Bagi Penyelamatan Bumi” yang juga menjabat Senior Advisor WWF-Indonesia ini menyebutkan bahwa indikasinya bisa dilihat dari grafik fantastis laju pertumbuhan manusia di perkotaan.

“Pada tahun 1950 jumlah penduduk perkotaan dunia yang berada di negara berkembang mencapai  38,92 persen. Tahun 1975 meningkat menjadi 51,07 persen, dan tahun 1990 hampir dua pertiga dari jumlah penduduk perkotaan di dunia bertempat tinggal di negara-negara yang pada umumnya adalah golongan negara miskin,” ujarnya. Inogichi pada penelitiannya di tahun 1999 menyebutkan bahwa pada tahun 2015 diproyeksikan 13 dari 15 kota besar dunia terletak di negara-negara berkembang. Kepadatan penduduk kota-kota metropolitan di Asia Tenggara seperti Jakarta, Bangkok, dan Manila semakin meningkat secara tajam. “Jika tidak mampu mengendalikannya, hal ini dapat menjadi bumerang yang menghambat pertumbuhan kota tersebut.”

Jakarta pada siang hari harus mampu melayani warganya yang berjumlah sembilan juta jiwa, jumlah warga Kota Metropolitan Bangkok pun mungkin sudah melebihi angka sembilan juta jiwa. Di pagi hari, Kota Jakarta maupun Bangkok diselimuti oleh asap tebal yang terdiri dari berbagai bahan pencemar udara. Bahan pencemar ini datang dari berbagai sumber, seperti knalpot kendaraan, sampah industri, sampah permukiman, kebakaran hutan dan lahan, ataupun dari aktivitas gunung berapi. Fenomena ini disebut Alikodra sebagai “Efek Rumah Bahang” (Urban Heat Island/UHI), sebuah kondisi dimana suhu semakin panas karena banyaknya bahan pencemar yang menyelimuti wilayah udara perkotaan sehingga semakin pengap.   

Permasalahan lingkungan di wilayah perkotaan semakin kompleks dan rumit, semakin sulit mengatasinya. Setiap musim hujan, Gubernur Jakarta dipusingkan dengan banjir yang menggenangi seluruh wilayahnya, Walikota Semarang dipusingkan dengan banjir rob, bahkan Walikota Tarakan hingga saat ini kebingungan untuk mengatasi banjir lumpur yang banyak menenggelamkan rumah-rumah warganya. Warga Kota Banjarmasin, Banjarbaru, Samarinda, Palangkaraya, Pontianak, dan Kota Balikpapan mengeluh karena kurang mencukupinya pasokan tenaga listrik. Belum lagi masalah sampah yang semakin sulit mengatasinya, dan masalah kelangkaan bahan bakar di beberapa kota di luar Jawa. 

Kota Tokyo menjadi salah satu contoh kota ramah lingkungan dan telah menuju ke arah ecocity. Hal itu terwujud karena perilaku warganya yang pro penghematan dan bahkan pengurangan emisi. Warga Tokyo mengganti alat transportasi mobil pribadi dengan sepeda, atau melakukan car pooling. Mereka menerapkan kebiasaan memilah sampah dan mendaur ulang barang bekas. Dengan luas 2.187,08 km2 dan jumlah populasi sekitar 13 juta lebih orang, Tokyo merupakan kota metropolitan terpadat di dunia. Namun dengan kesadaran ingin mengembangkan tempat hidup yang nyaman berwawasan ecocity, pemerintah, sektor swasta, dan masyarakatnya saling bahu-membahu mewujudkannya. Sebuah kerja bersama yang berbuah manis.

Sebagai penutup paparannya, Prof. Alikodra mengimbau peserta yang hadir dalam diskusi untuk menerapkan gaya hidup ramah lingkungan dan menularkan perilaku ini kepada orang lain. Implementasi ecocity atau kota berwawasan lingkungan membutuhkan proses yang panjang, sehingga untuk mencapainya diperlukan tak hanya waktu yang cukup lama. Diperlukan juga upaya jangka pendek dalam pengembangannya melalui pembangunan kota hijau, serta perubahan lifestyle seluruh warga dan semua pihak terkait untuk berjiwa konservasi (mencintai dan melindungi alam). (Ciptanti Putri).

Permasalahan kota di indonesia

Untuk memulai pengkajian terkait dengan eco city di indonesia; memunculkan pertanyaan pokok  kondisi apakah yang sedang dihadapi  kota-kota di Indonesia? Menurut Santoso,2012. terdapat  empat masalah pokok dalam perkembangan kota di indonesia ke (4) empat masalah tersebut, yaitu:

1. Urbanisasi

Masalah urbanisasi ini mempunyai dua karakteristik yang menjadikan  sangat sulit untuk diatasi, yang pertama adalah kecepatannya dan yang kedua adalah dimensinya. Secara dimensional, penduduk daerah urban Indonesia akan menjadi dua kali lipat dalam 25 tahun yang akan datang dan dalam kurun waktu tersebut jumlahnya bertambah dari sekitar 85 juta menjadi lebih dari 170 juta jiwa. Walaupun proses urbanisasi sebenarnya adalah proses yang sudah sejak lama kita kenal, tetapi dari segi dimensinya dan kecepatannya yang sekarang belum pernah terjadi sepanjang sejarah peradaban urban di Indonesia maupun di dunia. Di Tahun 2008 lalu untuk pertama kali jumlah penduduk dunia di perkotaan telah melampaui batas magis 50% dari penduduk dunia. “eco city“ yang menjadi impian kita harus mempunyai kemampuan mengantisipasi proses urbanisasi ini. Yang pertama harus diselesaikan adalah masalah distribusi penggunaan tanah yang tidak seimbang, dimana sebagian kecil anggota masyarakat menggunakan atau mengontrol sebagian besar sumber daya tanah di perkotaan. Praktek-praktek spekulasi tanah turut memperburuk situasi tersebut. Kota-kota besar kita pada saat ini tidak mampu menyediakan tanah untuk menyediakan perumahan dan membangun berbagai fasilitas sosial yang dibutuhkan oleh masyarakat luas. Lebih jauh dari itu daerah perkampungan penduduk dan daerah hunian lainnya secara terus menerus semakin terdesak oleh ekspansi dari proses komersialisasi lahan. Ini menyebabkan turunnya jumlah unit hunian rumah di pusat kota dan mendorong terjadinya urban sprawl dalam bentuk hunian suburban di pinggiran kota. Dampak dari semua ini adalah terjadinya desintegrasi fungsi kota yang menghancurkan koherensi dari sistem perkotaan yang ada dan semakin tidak efisiennya sistem urban kota-kota di Indonesia.

2. Tekanan struktur kekuasaan ekonomi dan politik global.

Sebagai akibat lebih terbukanya hubungan lintas Negara satu dengan lainnya maka kompleksitas dari masalah yang kita hadapi akan meningkat, terutama dalam hal-hal yang terkait dengan arus komunikasi, barang dan manusia. Pengaruh globalisasi sistem ekonomi dan komunikasi akan berdampak kuat terhadap perubahan struktur ekonomi dan sistem nilai kultural di kota-kota kita. Intensifikasi hubungan antara kota-kota besar di Indonesia dengan pusat-pusat ekonomi di dunia bisa berakibat melemahnya hubungan kota-kota di Indonesia dengan daerah belakangnya. Kondisi ini akan menyebabkan kota-kota Indonesia lebih berfungsi sebagai bridgeheads bagi ekonomi global dan menjadi agen-agen pemasaran dan mediasi demi kepentingan ekonomi global. Semua itu di satu pihak akan memperlemah ekonomi lokal setempat secara structural dan memicu sebuah perubahan sistem nilai kultural yang kontradiktif dengan nilai-nilai kultural setempat.

3. Fungsi kota-kota kita sebagai agent of development

terutama dalam kaitannya dengan transformasi masyarakat Indonesia secara keseluruhan dari masyarakat tradisional menjadi modern, dan dari rural menjadi industrial. Perlu digarisbawahi di sini bahwa seiring dengan semakin majunya kesejahteraan masyarakat, maka kebutuhan akan ruang secara kuantitas dan secara kualitas di dalam kota akan semakin meningkat. Hal ini akan berlangsung terus bahkan bagi kota-kota yang jumlah penduduknya relatif stabil. Ini bisa mempertajam ketimpangan antara desa dan kota. Karena itu “eco city“ adalah kota yang bisa berperan sebagai agent of development. Sebuah “kota ideal“ harus bisa menjadi lokomotif yang ikut mendorong perkembangan Indonesia secara keseluruhan disatu pihak, dan sebagai sebuah kesatuan urban (urban entity).

4. Ancaman perubahan sistem ekologis global maupun lokal.

Pada saat ini kota-kota di Indonesia belum mempunyai kemampuan untuk mengatasi atau menjinakkan berbagai dampak negatif yang diakibatkan oleh kenaikan suhu bumi seperti perubahan iklim, kenaikan permukaan air laut, kekeringan, banjir, dan seterusnya. Apalagi kalau kita menuntut bahwa cara mengatasi hal-hal tersebut tidak boleh bersifat parsial sebatas kepentingan sebagian dari penghuni kota yang mampu tetapi harus bersifat menyeluruh. Kecenderungan pada saat ini adalah bahwa selain meningkatnya kerusakan lingkungan urban secara umum, juga telah terjadi ketidakadilan pada pendistribusian sumberdaya alam demi keuntungan mereka yang menguasai sistem produksi urban dan ketidak adilan pada pendistribusian beban lingkungan (environmental burden) atas kerugian mereka yang berstatus sosial rendah.

Hubungan antara ilmu ekonomi dan lingkungan

Jika ditelisik lebih jauh permasalahn perkebangan kota di indonesia lebih disebabkan oleh adanya pengejaran pertumbuhan ekonomi sehingga kajian selanjutnya penulis akan mengkaji hubungan ekonomi dan lingkungan. Menurut Agus S. Ekomadyo,2013 istilah “ekologi” dan “ekonomi” sering mendekatinya secara “namein”, yang berorientasi pada pengaturan. Objek ekologi dan ditempatkan secara bersebarangan. Ketika ekologi dijadikan dasar argumentasi penyelamatan lingkungan, ekonomi diposisikan sebagai alasan bagi manusia untuk merusak lingkungan. Padahal ekologi dan ekonomi mempunyai akar kata yang sama, yaitu “oikos”, yang artinya “rumah tangga”. Yang satu mendekatinya secara “logos” yang berorientasi pengetahuan, yang lainnya ekonomi sebenarnya sama, yaitu “rumah tangga” atau dalam konteks ini adalah tempat untuk kita tinggal dan hidup.
Dalam proses pembangunan kota, perlu disadari bahwa ekonomi adalah kekuatan utama yang menggerakkan proses-proses tersebut. Kota hadir terutama akibat motif-motif ekonomi, yang terlihat dari perkembangan kota-kota di dunia sejak awal sejarah hingga masa kini. Hampir semua kota tumbuh diawali dengan keberadaan pasar, sebagai  tempat masyarakat bertukar barang dan jasa. Pemikir klasik arsitektur kota, Aldo Rossi, dalam bukunya the Architecture of the City (1966) menyebutkan bahwa kekuatan ekonomi yang menjadi determinan dalam transformasi sebuah kota.
Pertanyaannya, bagaimana ekologi dan ekonomi bisa menyatu dalam pembangunan sebuah kota? Seorang aktivis lingkungan, Zukri Saad, pernah memaparkan sebuah usulan bagaimana meningkatkan PAD kota berbasis lingkungan hidup di kota Padang. Gagasannya adalah menanami seluruh jalan di kota Padang dengan tanaman Mahoni. Mahoni dipilih karena sejak lama pohon ini sudah tumbuh di berbagai tempat di kota Padang. Jika seluruh jalan di kota Padang mempunyai total panjang hampir 800 km ditanami mahoni di sisi kiri dan kanannya dengan jarak 10 meter, maka akan diperoleh 160 ribu batang. Anggaplah yang berhasil tumbuh adalah 100 ribu batang. Maka, jika dalam waktu 10 tahun tiap batang mahoni mempunyai nilai 5 juta rupiah, maka kota Padang akan sudah mempunyai “tabungan” senilai 500 milyar!
Gagasan menyinergikan antara kepentingan ekologi dan ekonomi seperti di atas saat ini tangah mendapatkan momentum, dengan berkembangnya istilah “Ekonomi Hijau (Green Economy” sebagai trending topics dalam wacana pembangunan global. Istilah ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari konsep Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development) yang telah menjadi perhatian dunia sejak tahun 1970-an. Secara prinsip, konsep Pembangunan Berkelanjutan mensyaratkan keseimbangan aspek ekonomi, lingkungan, dan sosial dalam proses pembangunan.
Dalam ranah arsitektur kota, konsep sinergi ekonomi-ekologi muncul dalam konsep “Agrarian Urbanism”. Para arsitek yang gencar “menjual” konsep ini adalah kelompok New Urbanism, yang muncul di Amerika Serikat sejak tahun 1980-an, yang menggagas bagaimana kota-kota harus dirancang dan ditata ulang dengan lebih tetap berkarakter manusiawi, hubungan pertetanggaan tetap terjaga, dan tetap bisa berwawasan lingkungan.New Urbanism dipengaruhi secara kuat oleh standar-standar rancang kota sebelum bangkitnya industri dan konsumsi otomotif di pertengahan tahun 1920-an. Dari gerakan New Urbanism ini, kemudian berkembang konsep-konsep pembangunan berbasis pola permukiman tradisional dan transit banyak diterapkan pada pembangunan real estate, perencanaan kota, dan strategi pemanfaatan lahan oleh pemerintah.      
\
Dampak perkembangan kota bagi masyarakat

Menurut Bintarto (1989), kota dapat diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang ditandai dengan kepadatan penduduk yang tinggi dan diwarnai dengan strata sosial ekonomi yang heterogen dan coraknya yang matrialistis, atau dapat pula diartikan sebagai bentang budaya yang ditimbulkan oleh unsur-unsur alami dan non alami dengan gejala-gejala pemusatan penduduk yang cukup besar dengan corak kehidupan yang bersifat heterogen dan matrialistis dibandingkan dengan daerah dibelakangnya.Dari fakta, kota merupakan tempat bermukim warga kota, tempat bekerja, tempat hidup dan tempat rekreasi. Oleh karena itu, kelangsungan dan kelestarian kota harus didukung oleh prasarana dan sarana yang memadai untuk waktu yang selama mungkin. Lanjut Bintarto (1989) modernisasi kota mempunyai pengaruh terhadap, jumlah penduduk kota, keanekaragaman struktur sosial dan ekonomi, kebijaksanaan penggunaan sumber-sumber keuangan, kelembagaan kota dan sebagainya.
Pertumbuhan kota ternyata juga tidak selalu memberi manfaat terhadap kehidupan, tetapi dapat juga berpengaruh sebaliknya dan untuk itu tentunya diharapkan perkembangan kota dapat melenyapkan pencemaran lingkungan terutama dikota yang sudah terjadi penurunan kwalitas lingkungan. Salah  satu faktor penyebab naiknya  temperatur  kota adalah  arus urbanisasi yang deras masuk kota seperti telah di kemukan diatas.  Kota  yang dahulunya  hanya didiami puluhan ribu penduduk saja  seka­rang didiami ratusan juta penduduk. Jelas terjadi perkembangan kota baik dari aspek infrastruktur dan ekonomi telah menyebabkan naikan angka kepadatan yang mengakibatkan kota semakin sumpek dan panas.  Banyaknya  orang  akan menaikkan konsumsi energi  dan  penggunaan alat-alat  rumah tangga yang menghasilkan  panas  buangan. Kalau  hanya  dilihat pada satu atau dua alat  saja,  efek sampingnya dapat diabaikan, tetapi jika ratusan ribu alat-alat  digunakan  dalam kota, tentu hal ini  sedikit  banyak mempunyai andil dalam menaikan temperatur kota.
Secara naluriah, manusia baik sebagai makhluk individu maupun makhluk sosial, melalui berbagai cara dan usaha dalam bentuk budaya, mempunyai kehendak yang antara  lain untuk
1.      Mempertahankan dirinya;
2.      Mempertahankan hidup generasinya melalui   kebutuhan hidupnya;
3.      Mengembangkan kehidupannya, melalui pemenuhan kebutuhan hidupnya, namun banyak faktor yang mempengaruhi baik secara langsung maupun  tidak langsung terhadap hidup dan kehidupan  manusia.
Melalui berbagai cara dan media, diperoleh  informasi bahwa  peluang untuk mengembangkan kehidupannya,  melalui pemenuhan  kebutuhan hidupnya lebih baik di  daerah urban dari pada di rural. Keadaan yang demikian merupakan faktor pendorong dan penarik banyak orang (baik laki-laki  maupun wanita)  dari daerah perdesaan untuk mengadu nasibnya  di daerah perkotaan. Urbanisasi dilakukan untuk mempertahan­kan  hidup dan mempercepat proses pengembangan  kehidupan. Namun dengan serba kontrasnya keadaan antara daerah  perdesaan  dan daerah perkotaan sebagai akibat dari  kebijaksanaan pembangunan yang urban bias (Todari, 1985) menjadikan usaha  tersebut justru dapat menimbulkan  dampak  negatif bagi yang bersangkutan.Menurut  Marbun  (1990)  di  daerah perkotaan  dampak negatif dan positif tersebut antara lain timbulnya:

1. Dampak negatif dari masyarak kota

1. Perbuatan pelanggaran hukum khususnya  hukum pidana seperti kriminalitas, prostitusi dan                 sebagainya.
2. Munculnya sikap individualistis.
3  Memudarnya nilai kebersamaan.
4. Munculnya sikap kurang mempercayai pihak lain.
5. Memudarnya perhatian terhadap budaya lokal dan budaya nasional, terutama para generasi                 mudanya.
6. Permukiman kumuh, dan permukiman liar.
7. Banyak tuna wisma maupun tuna karya.

2. Dampak Positif Dinamika Masyarakat Kota

1. Tingkat pendidikan lebih merata.
2. Komunikasi dan informasi lebih cepat dan mudah.
3. Pembagian kerja yang berdasarkan kemampuan yang meningkatkan efektifitas.
4. Pembangunan dalam berbagai bidang lebih terjamin.

Implemntasi eco-city di dunia

Ada banyak contoh kota di dunia yang sudah menerapkan kota berkelanjutan atau eco city ini. Diantaranya sebagaimana berikut:

1. Kota Moreland di Australia. Kota yang berada di sebelah utara Melbourne, ini memiliki program untuk karbon menjadi netral dengan slogannya “Zero Carbon Moreland”. Kota lainnya di Australia yang mengusung eco city ini adalah Kota Greater Taree di Utara Sydney yang telah mengembangan rencana induk dengan meminimalisir jumlah karbon dan ini yang pertama di Australia.

2. Kota Melbourne sendiri, sejak 10 tahun terakhir telah melaksanakan berbagai metode untuk meningkatkan transportasi umum. Juga dengan menyisakan berbagai wilayah untuk zona bebas mobil (car free zone).

3. Lalu, Cina yang bekerja sama dengan pemerintah Singapura juga membangun sebuah eco city di Pesisir Kabupaten Baru yaitu Kota Tianjin di Cina Utara. Eco city ini disebut dengan “Sino-Singapura Tianjin Eco City”.  Selain itu di Cina juga ada Dongtan Eco-City, Huangbaiyu Big Eco-City. Tak hanya itu saja, pemanas air dengan tenaga surya yang diperuntukkan untuk keluarga juga direkomendasikan di Cina.

4. Denmark juga hadir dengan model ekologi industrinya yaitu The Industrial Park di Kalundborg.  Kota lainnya adalah kota Accra di Ghana dengan improving waste management-nya.

5. Kota Tokyo adalah kota ramah lingkungan dan telah menuju ke arah ecocity. Hal itu terwujud karena perilaku warganya yang pro penghematan dan bahkan pengurangan emisi. Warga Tokyo mengganti alat transportasi mobil pribadi dengan sepeda, atau melakukan car pooling. Mereka menerapkan kebiasaan memilah sampah dan mendaur ulang barang bekas. Dengan luas 2.187,08 km2 dan jumlah populasi sekitar 13 juta lebih orang, Tokyo merupakan kota metropolitan terpadat di dunia. Namun dengan kesadaran ingin mengembangkan tempat hidup yang nyaman berwawasan ecocity, pemerintah, sektor swasta, dan masyarakatnya saling bahu-membahu mewujudkannya. Sebuah kerja bersama yang berbuah manis.

Implementasi eco-city di indonesia

Untuk aplikasi konsep eco-city  di indonesia belum banyak di aplikasikan dan implemntasi dari eco city baru berada pada tahap uji coba di kota bandung dan sejak 2006 Kota Bandung terpilih sebagai salah satu proyek percontohan untuk Eco- Town, program untuk merespons isu-isu lingkungan di sekitar kawasan Asia Pasifik. Sebuah strategi untuk program Eco-City adalah mengembangkan eko-kemitraan antara kota-kota di kawasan Asia Pasifik,seperti Kota Kawasaki,Jepang; Bandung, Indonesia; Penang, Malaysia; Dalian, China; dan lainlain. Kini Kota Bandung telah mengembangkan dan menerapkan konsep Eco- Town sehubungan dengan perspektif lokal, yang meliputi rencana, regulasi, kelembagaan, program,dan kegiatan. Saat ini,pengelolaan sampah di Bandung telah memulai penerapan 3R (reduce, reuse, dan recycle). Karena merupakan aplikasi baru,3R di Bandung membutuhkan penguatan berbagai aspek: kebijakan dan regulasi, lembaga, infrastruktur termasuk sistem IT,sumber daya manusia, dan rencana aksi juga. Eco-Town di Bandung harus fokus pada pengelolaan limbah padat. Ini terutama akan didasarkan pada 3R kelas kecil dan menengah (reuse-recycle-reduce) pengembangan usaha. Ada alasan yang baik untuk memulai 3R sebagai pilot project Bandung Eco-Town: Pertama, isu berkaitan dengan limbah padat masih sentral. Kedua, timbulan sampah padat cenderung meningkat. Ketiga, terbatasnya alternatif lokasi untuk pembuangan akhir. Keempat, saat ini teknologi sampah konvensional dan manajemen.


Kesimpulan


Secara konseptual indonesia telah memiliki regulasi yang cukup untuk memwujudkan eco city seperti yang termaktub undang-undang uu 27 dan tahun 2007 tentang penataan ruang dan undang-undang 39 2009 tentang perlindungan dan pengolahan lingkungan hidup. Sebagai contoh dalam undang-undang 27 tahun 2007 tentang tata ruang mengisyaratkan bahwa pemerintah harus menyediakan 30 % ruang terbuka hijau. Dalam aspek regulasi menurut penulis tidak terlalu menimbulkan masalah akan tetapi dalam implemantasinya masih membutuhkan komitmen yang kuat, baik baik oleh  pemeritah, pihak swasta maupun masyarakat umum. Eco city yang merupakan konsep kota yang hijau, sehat, dan bersahabat dengan lingkungan. Konsep ini menekankan adanya ketergantungan fisik dari masyarakat pada kondisi lingkungan Secara umum boleh dikatakan bahawa indonesia belum menerapkan eco-city secara sistemantis penerapan yang dilaksanakan di kota bandung hanya terbatas pada eco-town juga jika kita kaji secara mendalam konsep eco-city sebagai sebuah konsep yang menyeluruh tidak terbatas pada sala satu bidang tertentu. Akan tetapi sebagai pailot projek embrio hadirnya kota yang ramah lingkungan merupakan sebuah langkah yang patut di apresiasi oleh kita ke pada pemerintah. Terlepas dari itu konsep eco cityharus menjawab persoalan perkotaan seperti permukiman, sistem transportasi, suplai energi, suplai dan ketersediaan air, serta aspek sosiokultural. Untuk mewujudkannya, diperlukan keterlibatan seluruh stake holder, baik pemerintahan, kalangan bisnis, maupun peran aktif masyarakat. Lanjut Amol kerangka kerjaeco city mencakup beberapa hal yang harus menjadi perhatian. Di antaranya, membangun kepedulian dan melakukan perubahan gaya hidup yang dimulai dengan sikap dan pemikiran yang berorientasi lingkungan, kontrol konsumsi personal, serta mempunyai keinginan untuk melakukan penghematan dan daur ulang terhadap produk-produk yang sudah tidak terpakai. “Partisipasi masyarakat, walaupun kecil, tetap diperlukan. Berpikir dan mulailah melakukan.

Dari uraian diatas Penulis  merekomendasikan beberapa hal dalam rangka mengimplentasikan pembangunan kota berkelanjutan atau eco-city di indonesia. rekomendasi tersebut sebagaimana berikut:

1. Pemerintah harus segara melakukan perncanaan kota dan mengaplikasikan konsep kota yang               ramah lingkungan atau eco-city di seluruh indonesia yang dimulai dengan penegakan hukum               secara konsisten.

2. Pemerintah harus segara mempunyai cetak biru pembanguan kota berkelanjutan atau eco-city yang     mengintegrasikan kepentingan ekonomi (green economic) yang cakupannya menjangkau dari             sabang sampai meroke.

3. Pemerintah harus selalu melakukan sosialisaikan kota berkelanjutan kepada masyarakat tentang           pentingnya melestarikan lingkungan dan dampak-dampak akibat dari kerusakan lingkungan                 terutama lingkungan perkotaan.


NAMA KELOMPOK :13
- MUHAMAD ARPI DARAJAT 10070316119
- DHEA VIRANTI 10070316120
- RITA ANANDA 10070316121


                                                           

Komentar

Postingan populer dari blog ini

resume hasil presentasi