Definisi dan Konsep Eko-city
PENGERTIAN
ECO CITY
Kota yang secara
ekologis dikatakan kota yang sehat. Artinya adanya keseimbangan antara
pembangunan dan perkembangan kota dengan kelestarian lingkungan. Pengertian
yang lebih luas ialah adanya hubungan timbal balik antara kehidupan kota dengan
lingkungannya. Secara mendasar kota bisa dipandang fungsinya seperti suatu
ekosistem. Ekosistem kota memiliki keterkaitan sistem yang erat dengan
ekosistem alami.
Eco-city di beberapa kota diwujudkan dalam bentuk
program-program yang bertujuan untuk mencapai ‘kota hijau’. Program kota hijau
merupakan program yang menyatakan perlunya kualitas hidup yang lebih baik serta
kehidupan yang harmonis dengan lingkungannya bagi masyarakat kota.
Program-program kota hijau diantaranya tidak hanya terbatas untuk mengupayakan
penghijauan saja akan tetapi lebih luas untuk mengupayakan konversi energi yang
dapat diperbaharui, membangun transportasi yang berkelanjutan, memperluas
proses daur ulang, memberdayakan masyarakat, mendukung usaha kecil dan
kerjasama sebagai tanggung jawab sosial, memugar tempat tinggal liar,
memperluas partisipasi dalam perencanaan untuk keberlanjutan, menciptakan seni
dan perayaan yang bersifat komunal.
KONSEP
ECO CITY
Konsep Eco City adalah konsep yang diterapkan oleh
sebuah kota yang ramah lingkungan dan juga untuk menjadi kota yang
berkelanjutan. Konsep ini diterapkan di negara-negara maju seperti Jerman,
Amerika, Singapura, dan Inggris. Yang dimaksud kota yang berkelanjutan adalah
kota yang mampu memanajemen kotanya dalam segala aspek baik lingkungan,
ekonomi, Sumber Daya Alam, dan manusianya sendiri.
Konsep ini mengajarkan kita untuk kembali ke alam dan juga menghemat energi
yang ada. Kita diajak untuk tidak membawa kendaraan pribadi seperti mobil dan
motor, membuat Ruang Terbuka Hijau, dan juga tidak merusak lingkungan alam.
Saat ini pemanasan global sudah banyak membawa dampak yang buruk bagi
negara-negara di dunia. Sehingga negara-negara maju menerapkan konsep ini.
Dalam implementasinya eco-cityharus mampu mencerminkan sebagai kota
yang berkelanjutan. Eco-city direncanakan seharusnya memiliki
tujuan dalam penggunaan sumber daya yang seminimal mungkin serta memberikan
dampak yang sekecil mungkin. Kota harus mampu mendaur-ulang sumber-sumber daya
tersebut. Dalam konteks ini, eco-city memiliki prinsip yang
berbeda dengan kota modern. Perbedaan tersebut terletak pada penggunaan
sumber-sumber daya dan dampak yang ditimbulkannya. Pergeseran paradigma ini
merupakan konsekuensi logis untuk mencapai tujuan sebagai kota eco-city.
Namun hal yang tersulit untuk membentuknya adalah proses dalam menangani sumber
daya tersebut, karena diperlukan upaya mendaur-ulang sumber daya tersebut.
Dengan demikian eco-city merupakan
kota yang mengurangi beban dan tekanan lingkungan, meningkatkan kondisi tempat
tinggal dan membantu mencapai pembangunan berkelanjutan termasuk peningkatan
kota yang komprehensif. Eco-city melibatkan perencanaan dan
manajemen lahan dan sumberdaya serta implementasi peningkatan lingkungan secara
terukur.
Pertambahan penduduk juga menjadi faktor pendorong diterapkannya konsep ini.
Dengan bertambahnya penduduk maka lahan yang ada pun semakin berkurang sehingga
tidak adanya ruang terbuka hijau sehingga kota tidak menjadi berkelanjutan. Kota
yang ideal seharusnya memiliki 30% ruang terbuka hijau dari luas kota
seluruhnya. Untuk menerapkan konsep ini maka dibutuhkan strategi berikut.
1. Look
Langkah pertama yang harus dilakukan adalah look (melihat). Kita harus melihat
kota yang berhasil menerapkan konsep eco city seperti di Singapura.
2. Copy
Langkah selanjutnya yaitu copy. Setelah kita melihat negara tersebut dan
mempelajari tentang tata ruang kota di negara tersebut kemudian kita terapkan
di kota kita seperti di Jakarta
3. Add (inovasi)
Langkah yang terakhir yaitu inovasi. Kita membutuhkan inovasi dalam menerapkan
konsep tersebut karena tidak semua negara sama. Contoh di Indonesia. Kita tidak
dapat langsung menerapkan konsep ini karena kondisi alam, geografis, dan
topografi yang berbeda dengan Singapura sehingga dibutuhkan inovasi dalam
menerapkan konsep ini di Indonesia.
Saat ini ramai dibahas wacana pembentukan kota hijau
(green city) di berbagai daerah urban. Kota hijau dipersepsikan memiliki
sejumlah ruang hijau yang mampu menyediakan udara segar. Konsep kota hijau ini
mengandalkan keberadaan ruang hijau sebagai paru-paru kota yang diyakini mampu
menjadi penetralisir bagi dampak buruk produksi emisi khas perkotaan yang lekat
dengan gaya hidup konsumtif dan boros penggunaan energi.
Konsep kota hijau memang dapat menjadi solusi tepat
bagi terimplementasikannya sebuah kota yang sehat, karena secara potensial
dapat mengendalikan sistem ekologi (suhu, erosi, dan banjir), sistem sosial
(kerukunan warga, tempat tinggal, sekolah, rumah sakit), serta sistem ekonomi
(lapangan pekerjaan). Namun seiring waktu, konsep ini menghadapi tantangan dari
berbagai permasalahan sosial yang sering kali disebabkan oleh tingginya angka
pertumbuhan penduduk yang mengakibatkan semakin sempitnya lahan di daerah
urban. Kekhawatiran utama dari laju pertumbuhan penduduk, selain menurunnya
kualitas tempat hidup, akan terjadi ketidakseimbangan antara ketersediaan
sumber daya alam (SDA) dengan pola konsumsi manusia. Lebih buruk lagi, lifestyle masyarakat
di perkotaan kian tidak mengindahkan kelestarian alam.
Dalam diskusi bertema "Pembangunan Kota Hijau" di Kantor
WWF-Indonesia pada 9 April 2013 lalu, Prof. Hadi S. Alikodra, Guru Besar
Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, memaparkan bahwa wilayah perkotaan
merupakan microcosm permasalahan lingkungan yang terus
berkembang seolah-olah tanpa batas, mengikuti irama dan dinamika
pertumbuhan penduduknya yang terus meningkat. Manusia berinteraksi dengan
sistem alam, namun dengan perilakunya yang boros dan kurang menjaga lingkungan.
Di lain pihak, karena keterbatasan daya serap dan daya asimilasi lingkungan,
lingkungan hidup perkotaan menjadi semakin rusak dan tercemar (ecological
scarcity). Hal tersebut terjadi karena kota-kota besar menjadi pusat
pertumbuhan ekonomi, pusat pemerintahan, bahkan berbaur dengan pusat industri
dan perdagangan. Hukum-hukum ekologi dan lingkungan termasuk tata ruang kota
pun banyak dilanggar demi pembangunan dan keuntungan ekonomi semata.
Oleh karena itu, selain aksi perbanyakan ruang
hijau, dibutuhkan sebuah wawasan kesadaran yang mengarah kepada gaya hidup
ramah lingkungan yang berkelanjutan. Lewat makalah singkat namun mendalamnya,
Prof. Alikodra menyebutkan sejumlah kasus masalah lingkungan perkotaan yang
kian hari kian pelik. Sudah saatnya dikembangkan konsep yang tak hanya mampu
menciptakan lingkungan yang sehat dan nyaman, namun mampu menjadi pengamanan
ekologi (ecological security) yang tepat. Hasilnya, kini muncul konsep ecocity,
yang memiliki lebih banyak elemen konservasi lingkungan karena menjalankan
prinsip 3R (reduce, recycle, reuse).
Menurut Prof. Alikodra, penerapan gaya hidup ramah
lingkungan menuju ke perwujudan ecocity ini sudah harus segera
diimplementasikan. Penulis buku “Pendekatan Ecosophy Bagi Penyelamatan Bumi”
yang juga menjabat Senior Advisor WWF-Indonesia ini menyebutkan bahwa
indikasinya bisa dilihat dari grafik fantastis laju pertumbuhan manusia di
perkotaan.
“Pada tahun 1950 jumlah penduduk perkotaan dunia yang berada di negara
berkembang mencapai 38,92 persen. Tahun 1975 meningkat menjadi 51,07
persen, dan tahun 1990 hampir dua pertiga dari jumlah penduduk perkotaan di
dunia bertempat tinggal di negara-negara yang pada umumnya adalah golongan
negara miskin,” ujarnya. Inogichi pada penelitiannya di tahun 1999 menyebutkan
bahwa pada tahun 2015 diproyeksikan 13 dari 15 kota besar dunia terletak di
negara-negara berkembang. Kepadatan penduduk kota-kota metropolitan di Asia
Tenggara seperti Jakarta, Bangkok, dan Manila semakin meningkat secara tajam.
“Jika tidak mampu mengendalikannya, hal ini dapat menjadi bumerang yang
menghambat pertumbuhan kota tersebut.”
Jakarta pada siang hari harus mampu melayani
warganya yang berjumlah sembilan juta jiwa, jumlah warga Kota Metropolitan
Bangkok pun mungkin sudah melebihi angka sembilan juta jiwa. Di pagi hari, Kota
Jakarta maupun Bangkok diselimuti oleh asap tebal yang terdiri dari berbagai
bahan pencemar udara. Bahan pencemar ini datang dari berbagai sumber, seperti
knalpot kendaraan, sampah industri, sampah permukiman, kebakaran hutan dan
lahan, ataupun dari aktivitas gunung berapi. Fenomena ini disebut Alikodra
sebagai “Efek Rumah Bahang” (Urban Heat Island/UHI), sebuah kondisi
dimana suhu semakin panas karena banyaknya bahan pencemar yang menyelimuti
wilayah udara perkotaan sehingga semakin pengap.
Permasalahan lingkungan di wilayah perkotaan semakin
kompleks dan rumit, semakin sulit mengatasinya. Setiap musim hujan, Gubernur
Jakarta dipusingkan dengan banjir yang menggenangi seluruh wilayahnya, Walikota
Semarang dipusingkan dengan banjir rob, bahkan Walikota Tarakan hingga saat ini
kebingungan untuk mengatasi banjir lumpur yang banyak menenggelamkan
rumah-rumah warganya. Warga Kota Banjarmasin, Banjarbaru, Samarinda,
Palangkaraya, Pontianak, dan Kota Balikpapan mengeluh karena kurang
mencukupinya pasokan tenaga listrik. Belum lagi masalah sampah yang semakin
sulit mengatasinya, dan masalah kelangkaan bahan bakar di beberapa kota di luar
Jawa.
Kota Tokyo menjadi salah satu contoh kota ramah
lingkungan dan telah menuju ke arah ecocity. Hal itu terwujud karena perilaku
warganya yang pro penghematan dan bahkan pengurangan emisi. Warga Tokyo
mengganti alat transportasi mobil pribadi dengan sepeda, atau melakukan car
pooling. Mereka menerapkan kebiasaan memilah sampah dan mendaur ulang
barang bekas. Dengan luas 2.187,08 km2 dan jumlah populasi
sekitar 13 juta lebih orang, Tokyo merupakan kota metropolitan terpadat di
dunia. Namun dengan kesadaran ingin mengembangkan tempat hidup yang nyaman
berwawasan ecocity, pemerintah, sektor swasta, dan masyarakatnya
saling bahu-membahu mewujudkannya. Sebuah kerja bersama yang berbuah manis.
Sebagai penutup paparannya, Prof. Alikodra mengimbau
peserta yang hadir dalam diskusi untuk menerapkan gaya hidup ramah lingkungan
dan menularkan perilaku ini kepada orang lain. Implementasi ecocity atau
kota berwawasan lingkungan membutuhkan proses yang panjang, sehingga untuk
mencapainya diperlukan tak hanya waktu yang cukup lama. Diperlukan juga upaya
jangka pendek dalam pengembangannya melalui pembangunan kota hijau, serta
perubahan lifestyle seluruh warga dan semua pihak terkait
untuk berjiwa konservasi (mencintai dan melindungi alam).
ECO-CITY DAN KOTA BERKELANJUTAN
Kota berkelanjutan
memiliki makna yang luas, namun sering kali pemahamannya dilihat dari segi
konteks dan substansi mengarah pada keberadaan kota yang memperhatikan
lingkungan. Walaupun konteks dan substansi ini berada dalam lingkup yang
meletakkan lingkungan sebagai aspek yang penting, akan tetapi juga memerlukan
berbagai pendekatan dengan melibatkan aspek-aspek lain yang komprehensif.
Dengan kata lain, bidang-bidang yang terkait tidak hanya berhubungan dengan
lingkungan saja, namun secara bersama-sama mengkaitkan pula bidang-bidang yang
lain misalnya: perencanaan dan desain, teknologi, ekonomi, sosial dan budaya,
serta politik.
Kota berkelanjutan
mendekati visi tentang kota yang dicita-citakan, dimana ia dihadapkan pada
berbagai permasalahan-permasalahan yang tidak mudah untuk menyelesaikannya.
Mengenai permasalahan ekonomi dan lingkungan menjadi hal yang perlu
diperhatikan, dimana dengan hal tersebut menjadi semakin lebih sulit
menggambarkan kota yang memiliki arti yang luas pada kota-kota yang terpencil atau
daerah-daerah pedalaman yang kurang meng-kota. Hal ini jauh berbeda dari
pemikiran baru tentang kota, dimana karakteristik kota sebagai sistem yang
terbuka, yaitu sistem-sistem kota menyatu dengan sistem-sistem lingkungan dan
ekonomi. Eco-city, harus dibangun oleh masyarakat setempat, bukan oleh
perencana tata kota atau pemerintah. Walaupun leadership, khususnya dari
pemerintah masih dibutuhkan di semua lini dan tingkatan untuk mewujudkan
eco-city ini.
KONSEP ECO-CITY
Sesuai dengan konsep eco-city yang melibatkan perencanaan dan manajemen lahan dan sumber daya serta implementasi peningkatan lahan secara teratur. Maka bisa dilihat dari gambar maket diatas bahwa pemakaian ruang dari sebuah eco-citybenar-benar direncanakan, lahan kosong disekitar gedung dijadikan lahan hijau. Di sudut lahan dibangun danau/penampungan air untuk fungsi dan estetika. Lahan pinggir sungai ditata sedemikian rupa tanpa kehilangan fungsi utamanya. Lahan kosong sengaja tidak dipenuhi oleh pohon agar tercipta ruang bagi pemukim untuk beraktivitas di lahan kosong tersebut.
Kota hijau atau ecocity dalam konsepnya menggabungkan
prinsip pembangunan hijau (greenbuilding) dengan memanfaatkan teknologi
informasi (ICT) untuk mengurangi dan menghilangkan dampak buruk terhadap
lingkungan. Sederhananya, ecocity adalah sebuah kota ekologis sehat.
Ecocity adalah …
Ecocity adalah …
- Sebuah
pemukiman ekologis sehat dimodelkan pada struktur mandiri tangguh dan
fungsi ekosistem alami dan organisme hidup.
- Suatu
entitas yang mencakup penduduknya dan dampak ekologi mereka.
- Sebuah
subsistem dari ekosistem yang merupakan bagian – dari DAS tersebut,
bioregion, dan akhirnya, dari planet ini.
- Sebuah
subsistem dari sistem ekonomi regional, nasional dan dunia.
Ecocity sebagai ekosistem adalah sebuah lingkungan biologis
yang terdiri dari semua organisme hidup di daerah tertentu, serta semua yang
tak hidup, komponen fisik dari lingkungan (seperti udara, tanah, air, dan sinar
matahari) yang berinteraksi dengan organisme. Konsep ecocity merupakan sebuah
konsep yang sebenarnya sudah lama ada dalam kehidupan-hari.
Entitas urban adalah ekosistem perkotaan, dimana dalam
sebuah perkotaan terdapat sebuah sistem yang mengendalikan lingkungan agar
tetap terjaga keseimbangannya antara lingkungan biotik dengan abiotik. Entitas
urban (kota, kota dan desa) adalah ekosistem perkotaan. Mereka juga bagian dari
sistem yang lebih besar yang menyediakan layanan penting yang sering
undervalued, karena banyak dari kesemua itu yang tanpa nilai pasar. Contoh yang
luas meliputi: mengatur (iklim, banjir, keseimbangan gizi, penyaringan air),
pengadaan (makanan, obat-obatan), budaya (ilmu pengetahuan, spiritual, upacara,
rekreasi, estetika) dan mendukung (siklus nutrisi, fotosintesis, pembentukan
tanah).
Ecocities sebagai analog dengan organisme hidup Seperti
organisme hidup, kota-kota (termasuk penghuninya) pameran dan memerlukan sistem
untuk gerakan (transportasi), respirasi (proses untuk memperoleh energi),
sensitivitas (menanggapi lingkungannya), pertumbuhan (berkembang / berubah dari
waktu ke waktu) , reproduksi (termasuk pendidikan dan pelatihan, konstruksi,
perencanaan dan pengembangan, dll), ekskresi (output dan limbah), dan gizi
(kebutuhan udara, air, tanah, makanan untuk penduduk, bahan, dll).
Pada intinya, Pembangunan Ecocity tergantung pada hubungan
yang sehat dari elemen dan fungsi kota, mirip dengan hubungan organ-organ dalam
organisme hidup yang kompleks. Konsep desain kota selama ini memprihatinkan
karena perencanaan, pembangunan, dan operasional kota selama ini kurang
mencerminkan terhadap upaya penghijauan. Dengan cara integral, yaitu
menserasikan pemanfaatan sumberdaya organik dengan kebutuhan akan pembangunan
hal ini akan membuat kota tampak sejuk dan yang paling penting tetap menjaga
kelestarian lingkungan tanpa mengabaikan tujuan dari pembangunan. Disamping
dengan pembangunan, cara untuk menghidupkan konsep ecocity pada seluruh elemen
masyarakat yaitu dengan pelajaran ekologi dimana seluruh sistem benar-benar
berupaya untuk membalikkan dampak negatif dari perubahan iklim, kepunahan
spesies dan kehancuran biosfer.
Model ecocity berusaha untuk memberikan visi praktis untuk
keberadaan manusia yang berkelanjutan dan restoratif di planet ini dan
menunjukkan jalan menuju prestasi melalui pembangunan kembali kota dan desa
yang seimbang dengan sistem kehidupan.
Dalam upaya membangun ecocity di dunia membentuk “Ecocity
World Summit” dimana forum tersebut sudah berjalan beberapa tahun belakangan
ini. berikut tempat yang pernah menyelenggarakan forum tersebut:
- Montreal,
Canada, 2011
- Istanbul,
Turkey, 2009
- San
Francisco, Calfornia, USA, 2008
- Bangalore,
India, 2006
- Shenzhen,
China, 2002
- Curitiba,
Brazil, 2000
- Dakar/Yoff,
Senegal, 1996
- Adelaide,
Australia, 1992
- Berkeley,
California, USA, 1990
Untuk tahun 2011 “Ecocity Word Summit” diselenggarakan pada
tanggal 22 – 26 Agustus 2011 di Montreal, Kanada.
Dalam Ecocity World Summit 2008 yang berlangsung di San
Francisco, konsep kota ramah lingkungan (eco-city) dirumuskan sebagai solusi
atas pemanasan global, urbanisasi dan semakin langkanya sumber daya yang akan
terjadi berabad ke depan.
Dalam pertemuan ini, semua peserta konferensi sepakat “pada
masa datang kota dan penduduknya harus hidup selaras dengan lingkungan demi
menciptakan pembangunan yang berkelanjutan. Kota dan desa harus dirancang
sedemikian rupa menjadi lingkungan yang sehat yang mampu menciptakan kehidupan
yang berkualitas dengan menjaga ekosistem di sekitarnya.”
Kota hijau atau “eco-city” dalam konsepnya menggabungkan
prinsip pembangunan “hijau” (green building) dengan memanfaatkan teknologi
informasi (ICT) untuk mengurangi – dan menghilangkan – dampak-dampak buruk kota
terhadap lingkungan. Dalam tulisannya yang berjudul “Sustainable Cities:
Oxymoron or The Shape of the Future?,” Annissa Alusi, asisten profesor di
Harvard Business School, memaparkan perkembangan kota-kota hijau generasi
pertama dunia. Hasil penemuannya beragam.
Berikut adalah ringkasan kota yang sedang menlaksanakan
pembangunan “ecocity concept”:
1. Kota Dongtan – Pulau Chongming, China
Pada 2005, pemerintah kota Shanghai menyerahkan pengelolaan tanah
di Pulau Chongming kepada Shanghai Industrial Investment Company (SIIC),
lembaga investasi milik pemerintah. Pulau Chongming terletak sekitar 14 km dari
distrik keuangan Shanghai dengan luas mencapai 50 km persegi atau sekitar tiga
perempat luas Kota Manhattan. Pemerintah ingin menjadikan Kota Dongtan menjadi
sebuah kota hijau yang memiliki sumber energi yang terbarukan, bebas kendaraan
bermotor dan dengan sumber daya air yang bisa didaur ulang.Kota ini diharapkan
bisa menjadi contoh sebuah kota hijau yang ideal di dunia dan mampu menampung
500,000 penduduk pada 2050.
SIIC ingin menciptakan sebuah kota modern bernuansa ekologis menggantikan konsep kota industri tradisional.
SIIC ingin menciptakan sebuah kota modern bernuansa ekologis menggantikan konsep kota industri tradisional.
2. Kota Sitra Low2No – Helsinski, Finlandia
Low2No adalah sebuah proyek kota hijau yang memiliki beragam
fungsi seluas satu blok di Helsinki, Finlandia. Kota hijau ini masuk dalam
rencana besar pembangunan kembali Jätkäsaari, sebuah kota pelabuhan industri
yang disetujui pada 2006. Pemerintah Finlandia ingin menjadikan Low2No sebagai
contoh ideal sebuah kota yang bebas atau rendah karbon, yang mampu “menyemai
inovasi di bidang efisiensi energi dan pembangunan yang berkelanjutan.”Dengan
Low2No, pemerintah ingin menerapkan sistem pembangunan berkelanjutan di
Finlandia yang masuk dalam hitungan ekonomi dengan menciptakan
kebijakan-kebijakan finansial baru yang mendukung usaha-usaha rendah atau bebas
karbon. Finlandia menargetkan pembangunan 10 proyek baru dalam lima tahun
setelah proyek Low2No rampung.
3. Kota Kota Masdar – Masdar, Abu Dhabi
Kota hijau Masdar ini adalah kota hijau yang paling terkenal
dan paling mendapat banyak kritikan hingga saat ini. Kota seluas 3,5 km persegi
yang terletak di sebuah gurun 30 km dari Abu Dhabi ini dirancang untuk
menampung 47.000 penduduk dan 1.500 perusahaan. Nilai investasinya mencapai $22
miliar dan ditargetkan selesai pada 2016.
Menurut pemerintah Abu Dhabi, kota ini akan menjadi kota
bebas karbon, bebas limbah dan bebas mobil, dengan sumber energi yang berasal
dari energi yang terbarukan. Masdar juga menjadi markas dari International
Renewable Energy Agency, yang memiliki mandat menyebarkan dan mengembangkan
pemanfaatan energi terbarukan.
Tahun lalu (2010) saat para pelaksana proyek Masdar merevisi
target awal mereka. Penyelesaian proyek ini mundur dari 2016 ke 2020. Kota ini
juga masih akan membutuhkan banyak pasokan energi dari luar dan kapsul
transportasi elektrik (yang menjadi bagian dari sistem transportasi personal di
Masdar) tidak akan tersedia di seluruh kota. CEO ADFEC Sultan al-Jaber
mengumumkan bahwa proyek Kota Masdar tidak akan dihentikan namun menurut
pengamat akan ada perubahan dari rencana awalnya.
4. Kota PlanIT Valley – Paredes, Portugal
PlanIT Valley adalah contoh kota pintar (smart city) akan
dibangun di wilayah Paredes, sekitar 16 km dari pusat kota Porto, Portugal,
oleh perusahaan teknologi baru bernama Living PlanIT. Pada 2008, Living PlanIT
memperoleh hak untuk membeli sekitar 3000 ha lahan dari pemerintah lokal
sebagai lokasi PlanIT Valley. Proyek ini diharapkan selesai pada 2015, dan
diharapkan bisa menampung sekitar 150,000 penduduk. PlanIT Valley didesain
sebagai pusat penelitian dan pengembangan teknologi bagi Living PlanIT dan
mitranya yang ingin menjadikan kota ini sebagai “laboratorium teknologi hijau”
pertama di dunia.
Inisiator perusahaan, Steve Lewis dan Malcolm Hutchinson,
mantan direktur perangkat lunak, memadukan sudut pandang teknologi yang unik
dalam mengembangkan kota ini. Mereka menggunakan apa yang mereka sebut sebagai
“Sistem Operasi Perkotaan” (Urban Operating System) yang berfungsi sebagai
pusat operasi atau otak dari kota ini. SOP mengumpulkan beragam informasi dari
sistem perkotaan yang mendukungnya.
5. Tianjin Eco-City – Tianjin, China
Pada 2007, tidak lama setelah mengumumkan proyek Dongtan,
pemerintah China membuat rencana kota hijau baru (eco-city) hasil kerjasama
pemerintah China dan Singapura. Kota bernama Tianjin Eco-City ini terletak
sekitar 40 km dari pusat kota Tianjin, sekitar 150 km di sebelah tenggara
Beijing. Kota ini bisa dicapai dalam waktu kurang dari 10 menit dari Tianjin
Economic-Technological Development Area (TEDA). Proyek Tianjin Eco-City terus
berlangsung dan diharapkan mulai dihuni pada tahun ini.
6. Meixi Lake District – Changsha, China
Changsha adalah kota yang sedang tumbuh dengan penduduk
mencapai lebih dari 65 juta jiwa. Pada Februari 2009, pemerintah kota Changsha
di Provinsi Hunan dan kontraktor Gale International setuju membangun sebuah
kota ramah lingkungan bernama Meixi Lake District di Changsha, ibu kota dari
Provinsi Hunan di China selatan-tengah.
Menurut Kohn Pedersen Fox, perancang kota ini, Meixi Lake
ingin menjadi contoh sebuah kota masa depan di China. “Kota ini menggabungkan
konsep kota metropolis dan kota alami yang menggunakan jaringan transportasi
inovatif, sistem distribusi energi terbaru (smart grid), sistem pertanian
perkotaan serta sistem daur ulang limbah energi.” Distrik seluas 600 ha ini
diharapkan mampu menampung 180,000 penduduk dan diharapkan rampung pada 2020.
7. New Songdo City – Songdo Island, Korea Selatan
Rencana bagi New Songdo City, yang terletak di sebuah pulau
buatan 30 km dari Seoul, Korea Selatan dimulai pada 2000. Kota seluas 600 ha
ini diharapkan mampu menampung 430.000 jiwa pada 2014. New Songdo City ingin
menjadi sebuah kota “Terpadu, Pintar dan Hijau (Compact, Smart and Green)”.
Kota ini ditargetkan menghasilkan gas rumahkaca (greenhouse
gases) sepertiga dari kota dengan luas yang sama. Rumah dan bangunan komersial
hijau kota ini akan digarap oleh GE Korea. Kota di Incheon Free Economic Zone
ini ingin menarik investasi dan bisnis asing ke Korea, dan menjadikan Korea
Selatan sebagai pusat perdagangan Asia.
Pada 2009, sebanyak 60,000 penduduk, 418 perusahaan dan
pusat penelitian dipindahkan ke wilayah ini dan pada 2014 pembangunan tahap
kedua ditargetkan rampung. Di kota ini juga akan dibangun 10 universitas asing,
delapan universitas lokal, empat sekolah internasional dan 17 bioskop.
Bagaimana dengan Indonesia?
Konsep Ecocity di Indonesia sementara masih dikembangkan di
Sentul City, seperti yang di kutip dari vivanews; “PT Sentul City Tbk menegaskan
komitmennya mengembangkan konsep nilai ekologi (ecocity) dengan
memberdayakan potensi lokal”.
“Jadi, untuk menuju ‘ecocity‘ tidak perlu teknologi
tinggi dan mahal, cukup dengan potensi lokal saja,” kata Direktur Sentul City,
Andrian Budi Utama melalui siaran pers perseoan kepada VIVAnews di
Jakarta, Kamis 17 Juni 2010.
Andrian mencontohkan, salah satu kegiatan pengembangan
berkelanjutan (sustainable development) menuju ecocity adalah
penyediaan area konservasi, topografi kawasan dipertahankan, dan lainnya.
Selain itu, juga menggunakan teknologi sederhana untuk mengolah air buangan
untuk air baku menyirami tanaman dan pemanfaatan tanaman spesies lokal di
“green map” yang segera dikembangkan di Sentul City.
Salah satu hasil studi mahasiswa Institur Pertanian Bogor
(IPB) menyebutkan, dari hasil identifikasi 57 jenis pohan di kawasan Sentul, 34
spesies di antaranya merupakan tanaman lokal dan 23 spesies lainnya adalah
tanaman eksotik.
Untuk itu, menurut Andrian, pihaknya juga akan
mempertahankan komitmen ruang terbuka hijau (RTH) tetap di atas 50 persen dari
total 3.100 hektare seluruh kawasan Sentul City.
Tidak hanya itu, lanjutnya, untuk menuju konsep ecocity tersebut
juga diperlukan suatu ‘green property‘ atau properti hijau. “Salah satu
elemennya adalah kami sudah mengembangkan ‘green wall dan roof‘ (dinding
dan atap hijau). Kongkritnya marketing office kami di Sentul
menggusung konsep ini,” katanya.
Menyingung dampak konsep ecocity yang
dikembangkan Sentul City selama ini, Andrian menuturkan, pertumbuhan penjualan
perseroan sejak Januari-Mei tahun ini mencapai Rp120 miliar. “Ini naik 100
persen dibanding periode yang sama tahun lalu. Target tahun ini Rp300 miliar,”
katanya.
Insentif Green Property
Insentif Green Property
Menyinggung rencana pemerintah yang menggodok konsep insentif bagi pengembang green property, Andrian menyambut baik rencana itu. “Sebelum terlalu jauh, sebaiknya pemerintah memperjelas apa kebutuhannya dalam rangka global warming,” katanya.
Setelah hal itu jelas, lanjutnya, kemudian perjelas dulu
payung hukumnya sehingga niat insentif bagi pengembang menjadi jelas. “Insentif
di sini hendaknya membawa benefit bagi keduanya, baik untuk
pemerintah maupun swasta,” katanya.
Terkait dengan hal itu, dia memberikan contoh, di Jerman,
regulasi insentif untuk pengembang green property sudah jelas
sejak 1985 yakni berupa pengurangan pajak dan kemudahan mengurus perizinan.
MENUJU KOTA BERTARAF EKOCITY
Dalam diskusi bertema "Pembangunan Kota Hijau" di Kantor WWF-Indonesia pada 9 April 2013 lalu, Prof. Hadi S. Alikodra, Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, memaparkan bahwa wilayah perkotaan merupakan microcosm permasalahan lingkungan yang terus berkembang seolah-olah tanpa batas, mengikuti irama dan dinamika pertumbuhan penduduknya yang terus meningkat. Manusia berinteraksi dengan sistem alam, namun dengan perilakunya yang boros dan kurang menjaga lingkungan. Di lain pihak, karena keterbatasan daya serap dan daya asimilasi lingkungan, lingkungan hidup perkotaan menjadi semakin rusak dan tercemar (ecological scarcity). Hal tersebut terjadi karena kota-kota besar menjadi pusat pertumbuhan ekonomi, pusat pemerintahan, bahkan berbaur dengan pusat industri dan perdagangan. Hukum-hukum ekologi dan lingkungan termasuk tata ruang kota pun banyak dilanggar demi pembangunan dan keuntungan ekonomi semata.
MENUJU KOTA BERTARAF EKOCITY
Saat ini ramai dibahas wacana pembentukan kota hijau (green
city) di berbagai daerah urban. Kota hijau dipersepsikan memiliki sejumlah
ruang hijau yang mampu menyediakan udara segar. Konsep kota hijau ini
mengandalkan keberadaan ruang hijau sebagai paru-paru kota yang diyakini mampu
menjadi penetralisir bagi dampak buruk produksi emisi khas perkotaan yang lekat
dengan gaya hidup konsumtif dan boros penggunaan energi.
Konsep kota hijau memang dapat menjadi solusi tepat bagi
terimplementasikannya sebuah kota yang sehat, karena secara potensial dapat
mengendalikan sistem ekologi (suhu, erosi, dan banjir), sistem sosial (kerukunan
warga, tempat tinggal, sekolah, rumah sakit), serta sistem ekonomi (lapangan
pekerjaan). Namun seiring waktu, konsep ini menghadapi tantangan dari berbagai
permasalahan sosial yang sering kali disebabkan oleh tingginya angka
pertumbuhan penduduk yang mengakibatkan semakin sempitnya lahan di daerah
urban. Kekhawatiran utama dari laju pertumbuhan penduduk, selain menurunnya
kualitas tempat hidup, akan terjadi ketidakseimbangan antara ketersediaan
sumber daya alam (SDA) dengan pola konsumsi manusia. Lebih buruk lagi, lifestyle masyarakat
di perkotaan kian tidak mengindahkan kelestarian alam.
Dalam diskusi bertema "Pembangunan Kota Hijau" di Kantor WWF-Indonesia pada 9 April 2013 lalu, Prof. Hadi S. Alikodra, Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, memaparkan bahwa wilayah perkotaan merupakan microcosm permasalahan lingkungan yang terus berkembang seolah-olah tanpa batas, mengikuti irama dan dinamika pertumbuhan penduduknya yang terus meningkat. Manusia berinteraksi dengan sistem alam, namun dengan perilakunya yang boros dan kurang menjaga lingkungan. Di lain pihak, karena keterbatasan daya serap dan daya asimilasi lingkungan, lingkungan hidup perkotaan menjadi semakin rusak dan tercemar (ecological scarcity). Hal tersebut terjadi karena kota-kota besar menjadi pusat pertumbuhan ekonomi, pusat pemerintahan, bahkan berbaur dengan pusat industri dan perdagangan. Hukum-hukum ekologi dan lingkungan termasuk tata ruang kota pun banyak dilanggar demi pembangunan dan keuntungan ekonomi semata.
Oleh karena itu, selain aksi perbanyakan ruang hijau,
dibutuhkan sebuah wawasan kesadaran yang mengarah kepada gaya hidup ramah
lingkungan yang berkelanjutan. Lewat makalah singkat namun mendalamnya, Prof.
Alikodra menyebutkan sejumlah kasus masalah lingkungan perkotaan yang kian hari
kian pelik. Sudah saatnya dikembangkan konsep yang tak hanya mampu menciptakan
lingkungan yang sehat dan nyaman, namun mampu menjadi pengamanan ekologi (ecological
security) yang tepat. Hasilnya, kini muncul konsep ecocity,
yang memiliki lebih banyak elemen konservasi lingkungan karena menjalankan
prinsip 3R (reduce, recycle, reuse).
Menurut Prof. Alikodra, penerapan gaya hidup ramah
lingkungan menuju ke perwujudan ecocity ini sudah harus segera
diimplementasikan. Penulis buku “Pendekatan Ecosophy Bagi Penyelamatan Bumi”
yang juga menjabat Senior Advisor WWF-Indonesia ini menyebutkan bahwa
indikasinya bisa dilihat dari grafik fantastis laju pertumbuhan manusia di
perkotaan.
“Pada tahun 1950 jumlah penduduk perkotaan dunia yang berada di negara berkembang mencapai 38,92 persen. Tahun 1975 meningkat menjadi 51,07 persen, dan tahun 1990 hampir dua pertiga dari jumlah penduduk perkotaan di dunia bertempat tinggal di negara-negara yang pada umumnya adalah golongan negara miskin,” ujarnya. Inogichi pada penelitiannya di tahun 1999 menyebutkan bahwa pada tahun 2015 diproyeksikan 13 dari 15 kota besar dunia terletak di negara-negara berkembang. Kepadatan penduduk kota-kota metropolitan di Asia Tenggara seperti Jakarta, Bangkok, dan Manila semakin meningkat secara tajam. “Jika tidak mampu mengendalikannya, hal ini dapat menjadi bumerang yang menghambat pertumbuhan kota tersebut.”
“Pada tahun 1950 jumlah penduduk perkotaan dunia yang berada di negara berkembang mencapai 38,92 persen. Tahun 1975 meningkat menjadi 51,07 persen, dan tahun 1990 hampir dua pertiga dari jumlah penduduk perkotaan di dunia bertempat tinggal di negara-negara yang pada umumnya adalah golongan negara miskin,” ujarnya. Inogichi pada penelitiannya di tahun 1999 menyebutkan bahwa pada tahun 2015 diproyeksikan 13 dari 15 kota besar dunia terletak di negara-negara berkembang. Kepadatan penduduk kota-kota metropolitan di Asia Tenggara seperti Jakarta, Bangkok, dan Manila semakin meningkat secara tajam. “Jika tidak mampu mengendalikannya, hal ini dapat menjadi bumerang yang menghambat pertumbuhan kota tersebut.”
Jakarta pada siang hari harus mampu melayani warganya yang
berjumlah sembilan juta jiwa, jumlah warga Kota Metropolitan Bangkok pun
mungkin sudah melebihi angka sembilan juta jiwa. Di pagi hari, Kota Jakarta
maupun Bangkok diselimuti oleh asap tebal yang terdiri dari berbagai bahan
pencemar udara. Bahan pencemar ini datang dari berbagai sumber, seperti knalpot
kendaraan, sampah industri, sampah permukiman, kebakaran hutan dan lahan,
ataupun dari aktivitas gunung berapi. Fenomena ini disebut Alikodra sebagai
“Efek Rumah Bahang” (Urban Heat Island/UHI), sebuah kondisi dimana suhu
semakin panas karena banyaknya bahan pencemar yang menyelimuti wilayah udara
perkotaan sehingga semakin pengap.
Permasalahan lingkungan di wilayah perkotaan semakin
kompleks dan rumit, semakin sulit mengatasinya. Setiap musim hujan, Gubernur
Jakarta dipusingkan dengan banjir yang menggenangi seluruh wilayahnya, Walikota
Semarang dipusingkan dengan banjir rob, bahkan Walikota Tarakan hingga saat ini
kebingungan untuk mengatasi banjir lumpur yang banyak menenggelamkan
rumah-rumah warganya. Warga Kota Banjarmasin, Banjarbaru, Samarinda,
Palangkaraya, Pontianak, dan Kota Balikpapan mengeluh karena kurang
mencukupinya pasokan tenaga listrik. Belum lagi masalah sampah yang semakin
sulit mengatasinya, dan masalah kelangkaan bahan bakar di beberapa kota di luar
Jawa.
Kota Tokyo menjadi salah satu contoh kota ramah lingkungan
dan telah menuju ke arah ecocity. Hal itu terwujud karena perilaku warganya
yang pro penghematan dan bahkan pengurangan emisi. Warga Tokyo mengganti alat
transportasi mobil pribadi dengan sepeda, atau melakukan car pooling.
Mereka menerapkan kebiasaan memilah sampah dan mendaur ulang barang bekas.
Dengan luas 2.187,08 km2 dan jumlah populasi sekitar 13 juta
lebih orang, Tokyo merupakan kota metropolitan terpadat di dunia. Namun dengan
kesadaran ingin mengembangkan tempat hidup yang nyaman berwawasan ecocity,
pemerintah, sektor swasta, dan masyarakatnya saling bahu-membahu mewujudkannya.
Sebuah kerja bersama yang berbuah manis.
Sebagai penutup paparannya, Prof. Alikodra mengimbau peserta
yang hadir dalam diskusi untuk menerapkan gaya hidup ramah lingkungan dan
menularkan perilaku ini kepada orang lain. Implementasi ecocity atau
kota berwawasan lingkungan membutuhkan proses yang panjang, sehingga untuk
mencapainya diperlukan tak hanya waktu yang cukup lama. Diperlukan juga upaya
jangka pendek dalam pengembangannya melalui pembangunan kota hijau, serta
perubahan lifestyle seluruh warga dan semua pihak terkait
untuk berjiwa konservasi (mencintai dan melindungi alam). (Ciptanti Putri).
Permasalahan kota di indonesia
Untuk memulai pengkajian terkait dengan eco city di
indonesia; memunculkan pertanyaan pokok kondisi apakah yang
sedang dihadapi kota-kota di Indonesia? Menurut Santoso,2012.
terdapat empat masalah pokok dalam perkembangan kota di indonesia ke
(4) empat masalah tersebut, yaitu:
1. Urbanisasi
Masalah urbanisasi ini mempunyai dua
karakteristik yang menjadikan sangat sulit untuk diatasi, yang
pertama adalah kecepatannya dan yang kedua adalah dimensinya. Secara
dimensional, penduduk daerah urban Indonesia akan menjadi dua kali lipat dalam
25 tahun yang akan datang dan dalam kurun waktu tersebut jumlahnya bertambah
dari sekitar 85 juta menjadi lebih dari 170 juta jiwa. Walaupun proses
urbanisasi sebenarnya adalah proses yang sudah sejak lama kita kenal, tetapi
dari segi dimensinya dan kecepatannya yang sekarang belum pernah terjadi
sepanjang sejarah peradaban urban di Indonesia maupun di dunia. Di Tahun 2008
lalu untuk pertama kali jumlah penduduk dunia di perkotaan telah melampaui
batas magis 50% dari penduduk dunia. “eco city“ yang menjadi impian kita harus
mempunyai kemampuan mengantisipasi proses urbanisasi ini. Yang pertama harus
diselesaikan adalah masalah distribusi penggunaan tanah yang tidak seimbang,
dimana sebagian kecil anggota masyarakat menggunakan atau mengontrol sebagian
besar sumber daya tanah di perkotaan. Praktek-praktek spekulasi tanah turut
memperburuk situasi tersebut. Kota-kota besar kita pada saat ini tidak mampu
menyediakan tanah untuk menyediakan perumahan dan membangun berbagai fasilitas
sosial yang dibutuhkan oleh masyarakat luas. Lebih jauh dari itu daerah
perkampungan penduduk dan daerah hunian lainnya secara terus menerus semakin
terdesak oleh ekspansi dari proses komersialisasi lahan. Ini menyebabkan
turunnya jumlah unit hunian rumah di pusat kota dan mendorong terjadinya urban
sprawl dalam bentuk hunian suburban di pinggiran kota. Dampak dari
semua ini adalah terjadinya desintegrasi fungsi kota yang menghancurkan
koherensi dari sistem perkotaan yang ada dan semakin tidak efisiennya sistem
urban kota-kota di Indonesia.
2. Tekanan struktur
kekuasaan ekonomi dan politik global.
Sebagai akibat lebih terbukanya hubungan lintas Negara satu
dengan lainnya maka kompleksitas dari masalah yang kita hadapi akan meningkat,
terutama dalam hal-hal yang terkait dengan arus komunikasi, barang dan manusia.
Pengaruh globalisasi sistem ekonomi dan komunikasi akan berdampak kuat terhadap
perubahan struktur ekonomi dan sistem nilai kultural di kota-kota kita.
Intensifikasi hubungan antara kota-kota besar di Indonesia dengan pusat-pusat
ekonomi di dunia bisa berakibat melemahnya hubungan kota-kota di Indonesia
dengan daerah belakangnya. Kondisi ini akan menyebabkan kota-kota Indonesia
lebih berfungsi sebagai bridgeheads bagi ekonomi global dan
menjadi agen-agen pemasaran dan mediasi demi kepentingan ekonomi global. Semua
itu di satu pihak akan memperlemah ekonomi lokal setempat secara structural dan
memicu sebuah perubahan sistem nilai kultural yang kontradiktif dengan
nilai-nilai kultural setempat.
3. Fungsi
kota-kota kita sebagai agent of development
terutama dalam kaitannya dengan transformasi masyarakat
Indonesia secara keseluruhan dari masyarakat tradisional menjadi modern, dan
dari rural menjadi industrial. Perlu digarisbawahi
di sini bahwa seiring dengan semakin majunya kesejahteraan masyarakat, maka
kebutuhan akan ruang secara kuantitas dan secara kualitas di dalam kota akan
semakin meningkat. Hal ini akan berlangsung terus bahkan bagi kota-kota yang
jumlah penduduknya relatif stabil. Ini bisa mempertajam ketimpangan antara desa
dan kota. Karena itu “eco city“ adalah kota yang bisa berperan sebagai agent
of development. Sebuah “kota ideal“ harus bisa menjadi lokomotif yang ikut
mendorong perkembangan Indonesia secara keseluruhan disatu pihak, dan sebagai
sebuah kesatuan urban (urban entity).
4. Ancaman perubahan
sistem ekologis global maupun lokal.
Pada saat ini kota-kota di Indonesia belum mempunyai
kemampuan untuk mengatasi atau menjinakkan berbagai dampak negatif yang
diakibatkan oleh kenaikan suhu bumi seperti perubahan iklim, kenaikan permukaan
air laut, kekeringan, banjir, dan seterusnya. Apalagi kalau kita menuntut bahwa
cara mengatasi hal-hal tersebut tidak boleh bersifat parsial sebatas
kepentingan sebagian dari penghuni kota yang mampu tetapi harus bersifat
menyeluruh. Kecenderungan pada saat ini adalah bahwa selain meningkatnya
kerusakan lingkungan urban secara umum, juga telah terjadi ketidakadilan pada
pendistribusian sumberdaya alam demi keuntungan mereka yang menguasai sistem
produksi urban dan ketidak adilan pada pendistribusian beban lingkungan (environmental
burden) atas kerugian mereka yang berstatus sosial rendah.
Hubungan
antara ilmu ekonomi dan lingkungan
Jika ditelisik lebih jauh permasalahn perkebangan kota di
indonesia lebih disebabkan oleh adanya pengejaran pertumbuhan ekonomi sehingga
kajian selanjutnya penulis akan mengkaji hubungan ekonomi dan lingkungan.
Menurut Agus S. Ekomadyo,2013 istilah “ekologi” dan “ekonomi”
sering mendekatinya secara “namein”, yang berorientasi pada pengaturan. Objek
ekologi dan ditempatkan secara bersebarangan. Ketika ekologi dijadikan dasar
argumentasi penyelamatan lingkungan, ekonomi diposisikan sebagai alasan bagi
manusia untuk merusak lingkungan. Padahal ekologi dan ekonomi mempunyai akar
kata yang sama, yaitu “oikos”, yang artinya “rumah tangga”. Yang satu
mendekatinya secara “logos” yang berorientasi pengetahuan, yang lainnya ekonomi
sebenarnya sama, yaitu “rumah tangga” atau dalam konteks ini adalah tempat
untuk kita tinggal dan hidup.
Dalam proses pembangunan kota, perlu disadari bahwa ekonomi
adalah kekuatan utama yang menggerakkan proses-proses tersebut. Kota hadir
terutama akibat motif-motif ekonomi, yang terlihat dari perkembangan kota-kota
di dunia sejak awal sejarah hingga masa kini. Hampir semua kota tumbuh diawali
dengan keberadaan pasar, sebagai tempat masyarakat bertukar barang dan
jasa. Pemikir klasik arsitektur kota, Aldo Rossi, dalam bukunya the
Architecture of the City (1966) menyebutkan bahwa kekuatan ekonomi yang menjadi
determinan dalam transformasi sebuah kota.
Pertanyaannya, bagaimana ekologi dan ekonomi bisa menyatu
dalam pembangunan sebuah kota? Seorang aktivis lingkungan, Zukri Saad, pernah
memaparkan sebuah usulan bagaimana meningkatkan PAD kota berbasis lingkungan
hidup di kota Padang. Gagasannya adalah menanami seluruh jalan di kota Padang
dengan tanaman Mahoni. Mahoni dipilih karena sejak lama pohon ini sudah tumbuh
di berbagai tempat di kota Padang. Jika seluruh jalan di kota Padang mempunyai
total panjang hampir 800 km ditanami mahoni di sisi kiri dan kanannya dengan
jarak 10 meter, maka akan diperoleh 160 ribu batang. Anggaplah yang berhasil
tumbuh adalah 100 ribu batang. Maka, jika dalam waktu 10 tahun tiap batang
mahoni mempunyai nilai 5 juta rupiah, maka kota Padang akan sudah mempunyai
“tabungan” senilai 500 milyar!
Gagasan menyinergikan antara kepentingan ekologi dan ekonomi
seperti di atas saat ini tangah mendapatkan momentum, dengan berkembangnya
istilah “Ekonomi Hijau (Green Economy” sebagai trending topics dalam
wacana pembangunan global. Istilah ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari
konsep Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development) yang telah
menjadi perhatian dunia sejak tahun 1970-an. Secara prinsip, konsep Pembangunan
Berkelanjutan mensyaratkan keseimbangan aspek ekonomi, lingkungan, dan sosial
dalam proses pembangunan.
Dalam ranah arsitektur kota, konsep sinergi ekonomi-ekologi
muncul dalam konsep “Agrarian Urbanism”. Para arsitek yang gencar “menjual”
konsep ini adalah kelompok New Urbanism, yang muncul di Amerika Serikat sejak
tahun 1980-an, yang menggagas bagaimana kota-kota harus dirancang dan ditata
ulang dengan lebih tetap berkarakter manusiawi, hubungan pertetanggaan tetap
terjaga, dan tetap bisa berwawasan lingkungan.New Urbanism dipengaruhi
secara kuat oleh standar-standar rancang kota sebelum bangkitnya industri dan
konsumsi otomotif di pertengahan tahun 1920-an. Dari gerakan New
Urbanism ini, kemudian berkembang konsep-konsep pembangunan berbasis
pola permukiman tradisional dan transit banyak diterapkan pada pembangunan real
estate, perencanaan kota, dan strategi pemanfaatan lahan oleh
pemerintah.
\
Dampak
perkembangan kota bagi masyarakat
Menurut Bintarto (1989), kota dapat diartikan sebagai suatu
sistem jaringan kehidupan manusia yang ditandai dengan kepadatan penduduk yang
tinggi dan diwarnai dengan strata sosial ekonomi yang heterogen dan coraknya
yang matrialistis, atau dapat pula diartikan sebagai bentang budaya yang
ditimbulkan oleh unsur-unsur alami dan non alami dengan gejala-gejala pemusatan
penduduk yang cukup besar dengan corak kehidupan yang bersifat heterogen dan
matrialistis dibandingkan dengan daerah dibelakangnya.Dari fakta, kota
merupakan tempat bermukim warga kota, tempat bekerja, tempat hidup dan tempat
rekreasi. Oleh karena itu, kelangsungan dan kelestarian kota harus didukung
oleh prasarana dan sarana yang memadai untuk waktu yang selama mungkin. Lanjut
Bintarto (1989) modernisasi kota mempunyai pengaruh terhadap, jumlah penduduk
kota, keanekaragaman struktur sosial dan ekonomi, kebijaksanaan penggunaan
sumber-sumber keuangan, kelembagaan kota dan sebagainya.
Pertumbuhan kota ternyata juga tidak selalu memberi manfaat
terhadap kehidupan, tetapi dapat juga berpengaruh sebaliknya dan untuk itu
tentunya diharapkan perkembangan kota dapat melenyapkan pencemaran lingkungan
terutama dikota yang sudah terjadi penurunan kwalitas lingkungan. Salah
satu faktor penyebab naiknya temperatur kota adalah arus
urbanisasi yang deras masuk kota seperti telah di kemukan diatas.
Kota yang dahulunya hanya didiami puluhan ribu penduduk saja
sekarang didiami ratusan juta penduduk. Jelas terjadi perkembangan kota baik
dari aspek infrastruktur dan ekonomi telah menyebabkan naikan angka kepadatan
yang mengakibatkan kota semakin sumpek dan panas. Banyaknya
orang akan menaikkan konsumsi energi dan penggunaan
alat-alat rumah tangga yang menghasilkan panas buangan.
Kalau hanya dilihat pada satu atau dua alat saja, efek
sampingnya dapat diabaikan, tetapi jika ratusan ribu alat-alat
digunakan dalam kota, tentu hal ini sedikit banyak mempunyai
andil dalam menaikan temperatur kota.
Secara naluriah, manusia baik sebagai makhluk individu
maupun makhluk sosial, melalui berbagai cara dan usaha dalam bentuk budaya,
mempunyai kehendak yang antara lain untuk
1. Mempertahankan
dirinya;
2. Mempertahankan hidup
generasinya melalui kebutuhan hidupnya;
3. Mengembangkan
kehidupannya, melalui pemenuhan kebutuhan hidupnya, namun banyak faktor yang
mempengaruhi baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap hidup
dan kehidupan manusia.
Melalui berbagai cara dan media, diperoleh informasi
bahwa peluang untuk mengembangkan kehidupannya, melalui
pemenuhan kebutuhan hidupnya lebih baik di daerah urban dari pada
di rural. Keadaan yang demikian merupakan faktor pendorong dan penarik banyak
orang (baik laki-laki maupun wanita) dari daerah perdesaan untuk
mengadu nasibnya di daerah perkotaan. Urbanisasi dilakukan untuk
mempertahankan hidup dan mempercepat proses pengembangan
kehidupan. Namun dengan serba kontrasnya keadaan antara daerah
perdesaan dan daerah perkotaan sebagai akibat dari kebijaksanaan
pembangunan yang urban bias (Todari, 1985) menjadikan
usaha tersebut justru dapat menimbulkan dampak negatif bagi
yang bersangkutan.Menurut Marbun (1990) di daerah
perkotaan dampak negatif dan positif tersebut antara lain timbulnya:
1. Dampak negatif
dari masyarak kota
1. Perbuatan pelanggaran
hukum khususnya hukum pidana seperti kriminalitas, prostitusi dan sebagainya.
2. Munculnya sikap
individualistis.
3 Memudarnya nilai
kebersamaan.
4. Munculnya sikap kurang
mempercayai pihak lain.
5. Memudarnya perhatian
terhadap budaya lokal dan budaya nasional, terutama para generasi mudanya.
6. Permukiman kumuh, dan
permukiman liar.
7. Banyak tuna wisma
maupun tuna karya.
2. Dampak
Positif Dinamika Masyarakat Kota
1. Tingkat pendidikan
lebih merata.
2. Komunikasi dan
informasi lebih cepat dan mudah.
3. Pembagian kerja yang
berdasarkan kemampuan yang meningkatkan efektifitas.
4. Pembangunan dalam
berbagai bidang lebih terjamin.
Implemntasi eco-city di dunia
Ada banyak contoh kota di
dunia yang sudah menerapkan kota berkelanjutan atau eco city ini. Diantaranya
sebagaimana berikut:
1. Kota Moreland di
Australia. Kota yang berada di sebelah utara Melbourne, ini memiliki program
untuk karbon menjadi netral dengan slogannya “Zero Carbon Moreland”. Kota
lainnya di Australia yang mengusung eco city ini adalah Kota Greater Taree di
Utara Sydney yang telah mengembangan rencana induk dengan meminimalisir jumlah
karbon dan ini yang pertama di Australia.
2. Kota Melbourne
sendiri, sejak 10 tahun terakhir telah melaksanakan berbagai metode untuk
meningkatkan transportasi umum. Juga dengan menyisakan berbagai wilayah untuk
zona bebas mobil (car free zone).
3. Lalu, Cina yang
bekerja sama dengan pemerintah Singapura juga membangun sebuah eco city di
Pesisir Kabupaten Baru yaitu Kota Tianjin di Cina Utara. Eco city ini disebut
dengan “Sino-Singapura Tianjin Eco City”. Selain itu di Cina juga
ada Dongtan Eco-City, Huangbaiyu Big Eco-City. Tak hanya itu saja, pemanas air
dengan tenaga surya yang diperuntukkan untuk keluarga juga direkomendasikan di
Cina.
4. Denmark juga hadir
dengan model ekologi industrinya yaitu The Industrial Park di Kalundborg.
Kota lainnya adalah kota Accra di Ghana dengan improving waste management-nya.
5. Kota Tokyo adalah kota
ramah lingkungan dan telah menuju ke arah ecocity. Hal itu terwujud karena
perilaku warganya yang pro penghematan dan bahkan pengurangan emisi. Warga
Tokyo mengganti alat transportasi mobil pribadi dengan sepeda, atau melakukan car
pooling. Mereka menerapkan kebiasaan memilah sampah dan mendaur ulang
barang bekas. Dengan luas 2.187,08 km2 dan jumlah populasi
sekitar 13 juta lebih orang, Tokyo merupakan kota metropolitan terpadat di
dunia. Namun dengan kesadaran ingin mengembangkan tempat hidup yang nyaman
berwawasan ecocity, pemerintah, sektor swasta, dan masyarakatnya
saling bahu-membahu mewujudkannya. Sebuah kerja bersama yang berbuah manis.
Implementasi
eco-city di indonesia
Untuk aplikasi konsep eco-city di indonesia belum
banyak di aplikasikan dan implemntasi dari eco city baru berada pada tahap uji
coba di kota bandung dan sejak 2006 Kota Bandung terpilih sebagai salah satu
proyek percontohan untuk Eco- Town, program untuk merespons isu-isu lingkungan
di sekitar kawasan Asia Pasifik. Sebuah strategi untuk program Eco-City adalah
mengembangkan eko-kemitraan antara kota-kota di kawasan Asia Pasifik,seperti
Kota Kawasaki,Jepang; Bandung, Indonesia; Penang, Malaysia; Dalian, China; dan
lainlain. Kini Kota Bandung telah mengembangkan dan menerapkan konsep Eco-
Town sehubungan dengan perspektif lokal, yang meliputi rencana, regulasi,
kelembagaan, program,dan kegiatan. Saat ini,pengelolaan sampah di Bandung telah
memulai penerapan 3R (reduce, reuse, dan recycle). Karena merupakan aplikasi
baru,3R di Bandung membutuhkan penguatan berbagai aspek: kebijakan dan
regulasi, lembaga, infrastruktur termasuk sistem IT,sumber daya manusia, dan
rencana aksi juga. Eco-Town di Bandung harus fokus pada pengelolaan limbah
padat. Ini terutama akan didasarkan pada 3R kelas kecil dan menengah
(reuse-recycle-reduce) pengembangan usaha. Ada alasan yang baik untuk memulai
3R sebagai pilot project Bandung Eco-Town: Pertama, isu berkaitan dengan limbah
padat masih sentral. Kedua, timbulan sampah padat cenderung meningkat. Ketiga,
terbatasnya alternatif lokasi untuk pembuangan akhir. Keempat, saat ini
teknologi sampah konvensional dan manajemen.
Kesimpulan
Secara konseptual indonesia telah memiliki regulasi yang
cukup untuk memwujudkan eco city seperti yang termaktub undang-undang uu 27 dan
tahun 2007 tentang penataan ruang dan undang-undang 39 2009 tentang
perlindungan dan pengolahan lingkungan hidup. Sebagai contoh dalam
undang-undang 27 tahun 2007 tentang tata ruang mengisyaratkan bahwa pemerintah
harus menyediakan 30 % ruang terbuka hijau. Dalam aspek regulasi menurut
penulis tidak terlalu menimbulkan masalah akan tetapi dalam implemantasinya
masih membutuhkan komitmen yang kuat, baik baik oleh pemeritah,
pihak swasta maupun masyarakat umum. Eco city yang merupakan
konsep kota yang hijau, sehat, dan bersahabat dengan lingkungan. Konsep ini
menekankan adanya ketergantungan fisik dari masyarakat pada kondisi lingkungan
Secara umum boleh dikatakan bahawa indonesia belum menerapkan eco-city secara
sistemantis penerapan yang dilaksanakan di kota bandung hanya terbatas
pada eco-town juga jika kita kaji secara mendalam konsep eco-city sebagai
sebuah konsep yang menyeluruh tidak terbatas pada sala satu bidang tertentu.
Akan tetapi sebagai pailot projek embrio hadirnya kota yang ramah lingkungan
merupakan sebuah langkah yang patut di apresiasi oleh kita ke pada pemerintah. Terlepas
dari itu konsep eco cityharus menjawab persoalan perkotaan seperti
permukiman, sistem transportasi, suplai energi, suplai dan ketersediaan air,
serta aspek sosiokultural. Untuk mewujudkannya, diperlukan keterlibatan seluruh stake
holder, baik pemerintahan, kalangan bisnis, maupun peran aktif masyarakat.
Lanjut Amol kerangka kerjaeco city mencakup beberapa hal yang harus
menjadi perhatian. Di antaranya, membangun kepedulian dan melakukan perubahan
gaya hidup yang dimulai dengan sikap dan pemikiran yang berorientasi
lingkungan, kontrol konsumsi personal, serta mempunyai keinginan untuk
melakukan penghematan dan daur ulang terhadap produk-produk yang sudah tidak terpakai.
“Partisipasi masyarakat, walaupun kecil, tetap diperlukan. Berpikir dan
mulailah melakukan.
Dari uraian diatas Penulis merekomendasikan beberapa
hal dalam rangka mengimplentasikan pembangunan kota berkelanjutan atau eco-city
di indonesia. rekomendasi tersebut sebagaimana berikut:
1. Pemerintah harus
segara melakukan perncanaan kota dan mengaplikasikan konsep kota yang ramah
lingkungan atau eco-city di seluruh indonesia yang dimulai dengan penegakan
hukum secara konsisten.
2. Pemerintah harus
segara mempunyai cetak biru pembanguan kota berkelanjutan atau eco-city yang mengintegrasikan kepentingan ekonomi (green economic) yang cakupannya
menjangkau dari sabang sampai meroke.
3. Pemerintah harus selalu melakukan
sosialisaikan kota berkelanjutan kepada masyarakat tentang pentingnya
melestarikan lingkungan dan dampak-dampak akibat dari kerusakan lingkungan terutama lingkungan perkotaan.
NAMA KELOMPOK :13
- MUHAMAD ARPI DARAJAT 10070316119
- DHEA VIRANTI 10070316120
- RITA ANANDA 10070316121
Komentar
Posting Komentar